Alifuru Supamaraina: May 2016

Tuesday, May 31, 2016

MALUKU YANG KAYA ORANG MALUKU YANG MISKIN

Oleh ; M. Thaha Pattiiha

                  Dalam suatu masyarakat modern, sumber daya adalah modal utama memajukan kehidupan dan memastikan memperoleh kesejahteraan hidupnya. Sumber daya manusia yang unggul dengan dilengkapi ketersediaan sumber daya alam yang kekayaan dan beragam, mestinya tidak akan terjadi kesulitan hidup masyarakatnya, bilamana dapat dimanfaatkan secara baik dan benar.

Maluku memiliki “segalanya”. Ya, sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), bahkan boleh dibilang melimpah. Akan tetapi apa yang salah dari kekayaan ini sehingga kesejahteraan hidup masyarakat Maluku sebagian masih tergolong miskin. Yang menarik, perbandingan antara ketersediaan SDA yang melimpah melebihi populasi penduduk yang tidak seberapa jumlahnya. Sangat berbeda jauh dari ukuran kesesuaian ketersediaan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat penduduk Maluku dapat hidup sejahtera, hingga mencapai tingkat hidup makmur.


Kekayaan Sumber Daya Alam Maluku

Provinsi Maluku memiliki luas wilayah 712.479,65 Km2, terdiri dari luas daratan 54.185 Km2 (7,6%) atau seluas 5.418.500 Ha, diantaranya terdapat 4.663.346 Ha adalah luas hutan yang berada pada 32 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 8.287 Km. Luas lautan 658.294.69 Km2 (92, 4%) -  Data ; Profil Investasi Provinsi Maluku, Desember 2005. Saat ini kawasan hutan seluas 3.919.617 Ha. Dari 3,9 juta Ha hutan yang ada, terdapat 1.056.794 Ha (26,97%) untuk hutan lindung dan hutan konservasi, selebihnya untuk hutan produksi 16,42%, hutan produksi terbatas 22,81% dan 33.80 % untuk hutan yang dapat dikonversi, ( Keterangan ; Azam Bandjar, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku/Tribun-Maluku.com/30 April 2015). Terdapat perbedaan penurunan luas hutan dari 2(dua)sumber data tersebut di atas. setidaknya terdapat 743,729 Ha hutan yang telah hilang selama 10 tahun belakangan ini, sayangnya tidak ada penjelasan kenapa seperti itu. Setidaknya masih tersedia luas hutan (produksi, produksi terbatas, dan yang dapat dikonversi) seluas 2.862.823 Ha atau 73,03 %, yang dapat dimanfaatkan secara baik dan maksimal menurut peruntukan dengan sistem tata kelola sejak awal hingga akhir yang benar, baik dan modern, serta ketersediaan akses modal yang murah dan mudah oleh pemerintah daerah. Sehingga usaha berbasis lahan pertanian dan perkebunan atau peternakan, akan menjadi satu bagian lain dari upaya dan cara mengatasi permasalahan kemiskinan Maluku. Hanya saja, jangan lagi menerima kehadiran transmigran dari luar daerah Maluku, sebab sama sekali tidak berdampak positif bagi masyarakat asli, malah menimbulkan kecemburuan dan mengurangi peluang bersifat kepentingan lokal kedaerahan. (lihat; transmigrasi-di-maluku).

Sumber daya alam (SDA) Maluku, menunjukan potensi kekayaan luar biasa yang tentu mampu memberikan penghidupan yang lebih layak, berupa kesejahteraan dan kemakmuran bagi penduduknya. Pola hidup tradisonal bertani dan nelayan yang masih lekat dengan budaya penduduk Maluku hingga kini, tersedia lahan dan lautan untuk berusaha untuk memenuhi kebutuhan demi kesejahteraan hidup.

Potensi sumber daya alam pertambangan emas, semen, batu bara, batu gamping, dan batuan mineral lainnya, minyak dan dan yang paling luar biasa yaitu gas bumi, tersedia di perut bumi kepulauan Maluku. Begitu kayanya bumi Maluku dan betapa semua itu mampu berkontribusi kepada kualitas kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Minyak Bumi di Bula – Seram bagian timur, potensi raksasa gas alam Masela – Maluku bagian tenggara barat daya, emas di Wetar, pulau Buru dan Seram, Nikel di Seram bagian barat, Semen di Seram bagian selatan, dan lain lagi masih banyak tempat potensi kekayaan pertambangan.

Hal yang sama juga untuk usaha masyarakat berbasis laut dengan ketersediaan luas perairan laut 658.294.69 Km2 atau 92,4% dari luas daratan, potensinya begitu menjanjikan bagi pemenuhan kesejahteraan masyarakat Maluku melalui pengembangan usaha perikanan tangkap dan usaha budidaya laut. Sektor kelautan mestinya menjadi andalan utama sebagai wilayah kepulauan. Perhatian dan pandangan sudah harus diarahkan sungguh-sungguh ke laut mulai sekarang, karena di darat telah memakan korban salah urus dan akibat perkembangan zaman, kepada usaha komoditi perkebunan kebanggaan Orang Maluku yaitu cengkeh dan pala, sehingga kebun-kebunnya kini terbengkalai dan merana ( lihat; komuditas-unggulan-maluku-yang-merana ). Hebatnya, bila TNI-Angkatan Laut memiliki semboyan; Jales veva jaya mahe – di laut kita jaya, harusnya bagi Orang Maluku ; di laut katong makmur. Masa depan yang lebih menjanjikan terbentang luas, ada pada laut ( lihat ; potensi-perikanan-maluku).


Kemiskinan Maluku

Tingkat kesejahteraan masyarakat Maluku ternyata menurut data statistik tahun 2014, sebagian tergolong berada pada level hidup miskin. Masih miskinnya sebagian orang di Maluku terbaca seperti sesuatu yang aneh tapi nyata, menyaksikan ketersediaan sumber daya alam yang kaya, maka sangat tidak dimungkinkan masyarakatnya mengalami penghidupan dalam derita, apalagi sampai jatuh miskin. Kemiskinan yang terjadi adalah  akibat kealpaan dan salah urus para pihak yang mungkin saja masih bermental asal jadi, asal ada, selebihnya cari dan urus diri sendiri. Sepertinya pemerintah senang menghibur diri dengan kecenderungan menggunakan indikator kemiskinan yang bersifat absolut, asyik dengan angka prosentase yang katanya terus menurun. Seperti itu, maka menurut Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan dari IPB /Kompas, 30 Oktober 2012, kemiskinan yang terjadi adalah kemiskinan struktural. Terjadi sebagai impak dari keburukan tata cara bernegara. Bisa dipastikan tidak ada Orang Maluku yang senang ketimpahan hidup miskin. Nah lho, bukan absolut khan bro !

Memakanai pendapat Ivanovich Agusta, dengan menggunakan indeks gini dalam asumsi penyusunan RAPBD di Maluku, baik Provinsi maupun Kota/Kabupaten, mungkin akan lebih parah karena akan diketahui bahwa hanya sedikit orang Maluku yang menikmati porsi pembangunan atau kekayaan dengan prosentas nilai lebih besar. Sesuatu yang akan menampik kebaikan dan keuntungan hidup dalam satu wilayah – daerah, dengan anugerah Tuhan atas kelimpahan sumber daya alamnya, tetapi tidak terdistribusi secara adil dan merata.

Sepuluh tahun lalu, data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Maluku diketahui terdapat 280.824 keluarga hidup di bawah garis kemiskinan, 48,12 % dari jumlah keluarga rumah tangga Maluku. Angka ini berbeda dengan olahan Litbang Kompas dari data BPS tahun 2004 terhadap jumlah penduduk dengan pendapatan per kapita per bulan rata-rata 136.159,6 rupiah, maka jumlah penduduk miskin ada 397,6 orang atau 31,36%, (Kompas, 17 Maret 2005).  Hal ini mungkin dianggap data lama, tetapi sengaja diangkat yang sudah barang tentu bisa saja telah berubah situasi data-nya saat ini. Silahkan diperdebatkan seperti apa perubahannya saat sekarang, apa sudah lebih baik atau masih seperti yang dulu, artinya sama saja.

Di banyak kesempatan saya selalu memperkenalkan Maluku dengan segenap potensinya, sambil berseloroh ; “di Maluku tidak ada orang lapar”. Sesuatu yang  bukan tida ada kebenarannya, sebab yang ada di masyarakat Maluku yaitu orang tidak memiliki uang. Memiliki barang tetapi tidak terjual, seperti itu yang masih terjadi di banyak wilayah dengan akses pasar(pembeli) tergolong minim. Akibatnya daya beli masyarakat yang rendah atau ketidak mampuan bertransaksi dengan uang, sebagai akibat kurangnya pendapatan oleh penjualan dari hasil produksi dan hasil usaha, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan maupun lain komuditas dan produk lain bernilai ekonomis ( baca ; komuditas-unggulan-maluku-yang-merana ).

Contoh menarik yang mengakibatkan penderitaan yang terjadi di Maluku, kondisi ini dimaknai sebagai “kemiskinan”. Berbeda mungkin dengan di daerah lain, orang Maluku miskin tapi masih bisa makan. Memang itu yang terjadi karena sumber makanan masih mudah diperoleh, ke darat atau ke laut potensi SDA tersedia dengan mudah diperoleh. Bila tak punya sesuatu apa-apa bukan uang, anda masih bisa memintanya ke tetangga atau siapapun, orang Maluku masih sangat berbaik hati untuk berbagi bila hanya sekadar untuk makan atau minum, yang sulit adalah sumber makanan ada tetapi tidak berarti untuk membuat menjadi uang.

Kemiskinan yang menimpah masyarakat Maluku, adalah kemiskinan yang disebabkan unsur kesengajaan secara sadar dan menunjukan ketidakpedulian pemerintah. Bukan sekadar tidak punya uang, tetapi lebih diperparah oleh kesulitan memperoleh pelayanan kesehatan yang  mudah dan terjangkau, pendidikan yang memungkinkan menjangkau jenjang lebih tinggi, ketersedian kemudahan akses terhadap permodalan usaha dan sarana penunjang.

Belum mudah dan murah, akses transportasi darat dan apalagi laut antar wilayah pulau, tarif angkutan masih “liar” tanpa control berarti dari pihak pemerintah daerah untuk memastikan tariff biaya angkutan dan jenis-jenis angkutan resmi. Kendaraan angkutan darat, secara pribadi-pribadi mash terlihat bebas beroperasi dan bebas menentukan biaya tarif, sementara angkutan darat umum masih berkonsentrasi di perkotaan. 

Seram sebagai pulau terbesar di Maluku, jalan lingkar pulaunya pun masih seperti pengidap penyakit  asma akut. Di wilayah selatan bagian tengah pulau hingga ke ujung timur pulau Seram, harus banyak sabar menunggu oleh cara pembangunan jalan dan jembatan yang bertahap, semau gue, beta pung suka-suka, atau mungkin karena tidakmampuan kepemimpinan dalam memaksimalkan ketersediaan anggaran pembangunannya. Terdapat jembatan terpanjang mungkin di Maluku yang terdapat di kali Kawa-Nua, hamper sepuluh tahun dibangun hingga tahun 2016 ini, belum juga tersambung. Apalagi alasannya, kecuali ketidak mampuan pemerintah (daerah) memenuhi anggarannya secara pasti dalam jumlah yang dibutuhkan sehingga cepat terselesaikan. Itupun bila merasa peduli dan mau ikhlas serta jujur meilaht kesulitan dan penderitaan masyarakat oleh belum terselesaikannya jembatan tersebut.

Infrastruktur jalan, jembatan, sarana kesehatan dan pendidikan, transportasi darat dan laut, ketersediaan dan kemudahan akses permodalan usaha, terbina, terlatih, dan terbimbing oleh para ahli dibidangnya, adalah modal proses mempercepat mobilitas masyarakat yang sangat dibutuhkan untuk dengan mudah dan cepat meningkatkan kehidupannya menjadi lebih baik.


Keadilan bagi-bagi Kue Pembangunan

Maluku pada kenyataannya hanya menerima pembagian anggaran dari APBN(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) hanya didasarkan pada luas wilayah daratan yang hanya 7,4% (lautan 92,6%) dan berdasarkan jumlah penduduk sejumlah 1,8 juta jiwa. Jelas aturan dasar seperti ini merugikan bagi Maluku dalam kapasitas memiliki kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa, dan yang untuk wilayah Indonesia lain yang padat penduduknya. Sudah barang tentu dengan minimnya anggaran tidak mampu memenuhi kebutuhan maksimal rencana belanja pembangunan guna mempercepat laju mensejahterakan masyarakat Maluku.

Masyarakat Maluku tidak terbiasa “meminta-minta atau mengemis” haknya, tetapi itu menjadi kewajiban Pemerintah Daerah (Pemda) Maluku, berkewajiban dan tugasnya untuk memperjuangkan secara sungguh-sungguh, tulus dan ikhlas kepada pemerintah pusat yang telah selama ini memindahkan hasil kekayaan alam bumi Maluku ke Pemerintah Pusat(Pempus), agar dikembalikan secara proporsional dan adil antara hasil tergarap dan hak kepemilikan kekayaan oleh masyarakat Maluku.  

Kebijakan regulasi oleh Pemerintah Pusat adalah hal lain yang juga ikut berkontribusi memiskinkan masyarakat Maluku, betapa tidak pada kebijakan membagi hasil “pengerukan” sumber daya alam laut Maluku, ternyata pengembaliannya jauh di bawah harapan. Selain pendapatan yang harusnya langsung diperoleh oleh Provinsi Maluku dari aktifitas pengerukan dimaksud, telah dipangkas melalui perubahan regulasi, sementara Pemerintah Daerah Provinsi Maluku hanya berdiam diri tidak ada reaksi cerdas menyikapinya.

Bila saja ketulusan dan keikhlasan lebih ditonjolkan, bersamaan dengan kemampuan kepemimpinan Pemerintah Daerah dalam upaya meningkatkan taraf hidup hingga pada level sejahtera bagi masyarakat Maluku benar-benar dilakukan secara maksimal, tentu akan termotivasi untuk giat meperjuangkan hak-hak terhadap “keadilan bagi-bagi” porsi pembangunan yang rasional. Sekalian menuntut hak kekayaan yang dialihkan secara sengaja atas nama negara dari bumi Maluku, bukannya hanya asal tadah tangan, menerima saja apa adanya karena “rasa kasihan” dan “asal suap” dari Pemerintah Pusat.

Maluku sangat kaya sumber daya alamnya, tetapi ternyata masih saja miskin kehidupan masyarakatnya.

Bersama bernegara dengan maksud saling sama-sama membangun demi mensejahterakan masyarakatnya secara adil dan merata, sehingga terasa ada manfaatnya. Sebaliknya bila yang menikmati keuntungan bernegara hanya sepihak, maka pilihan-pilihan pemikiran  yang lainpun tersedia dan dengan manis dan indah bakal berkembang cepat kearah sebaliknya.

“Bersama tetapi sebagian menderita, sama artinya dengan mengajak lebih baik berpisah untuk tidak terus saling bertengkar dan itu demi kebaikan bersama agar tidak ada yang terluka”.

Depok, 31 May 2016

Sunday, May 29, 2016

Bengkel Seni YAMUYAKA ; Catatan Sejarah Sanggar Seni Di Kota Ambon

Bengkel Seni YAMUYAKA(Yang Muda Yang Berkarya) Ambon
Bengkel Seni YAMUYAKA(Yang Muda Yang Berkarya) Ambon

               Di kota Ambon pada era antara tahun 1984 hingga tahun 1995, nama Bengkel Seni YAMUYAKA (Yang Muda Yang Berkarya) atau disingkat BS.Yamuyaka(BSY), sangat populer dikalangan pegiat seni dan dikenal luas di masyarakat kota Ambon.

Sebagaimana aktifis seni atau seniman dan kelompok-kelompok pegiat seni lainnya, Bengkel Seni Yamuyaka terpublikasi oleh berbagai aktifitas seni baik secara kelembagaan, maupun personil anggota serta generasi muda hasil binaan terhadap bakat seninya.

Bengkel Seni Yamuyaka merupakan lembaga pemerhati seni yang beraktifitas di hampir semua bidang seni, tetapi berbeda dalam hal keanggotaan, pengurus dan manejemen pengelolaannya. Dinamai Bengkel Seni, tidak sebagaimana  lazimnya kelompok atau organisasi seni yang menggunakan nama Sanggar – Seni. Nama yang terkesan oleh penggunaan kata “bengkel” sebagai tempat perbaikan atau pengerjaan tekhnis sesuatu bersifat mekanis. Padahal urusannya adalah seni, sesuatu yang menyangkut rasa dan imajinasi manusia terhadap sesuatu proses pengalaman, perenungan, penerjemahan, dan kreatifitas sehingga melahirkan suatu karya cipta seni yang indah.

Pilihan pada status sedemikian agar wadah yang digagas dan dibentuk tidak imbas dengan asal bisa, asal tampil dan asal jadi, sisi kualitas karya dan tampilannya harus beda dan lebih menarik sehingga mengesankan tidak latah mengikuti kebiasaan umumnya.

Untuk keanggotaan, hanya terdiri dari beberapa orang bergabung dalam satu wadah yang terorganisir secara rapih, tertib dan dengan program yang tertata secara terencana untuk mencapai target akhir yang maksimal serta monumental. Hasilnya bersinergi dengan kebutuhan dan menjadikan catatan sejarah yang patut diukir di prasasti perjalanan suatu kurun waktu atau jaman.

Sisi idialisme memang sangat kental mendasari semangat bersama, guna membangun sebuah wadah yang lebih berdaya kreasi menampilkan hasil karya cipta sebanding dengan laju pengetahuan masyarakat, tetapi tetap dalam bingkai jiwa seniman yang harus dibebaskan dari kungkungan hal-hal teknis mekanis. Akan tetapi dalam kiprahnya kenyataan rasional kehidupan tetap harus dipahami, sehingga mampu menerjemahkan setiap konteks sosial lingkungannya, apapun itu, menjadi inspirasi dan menghasilkan karya yang patut dinikmati dan diapresiasi semua orang.

Terbentuknya Bengkel Seni Yamuyaka

Bermula pada tahun 1980-an dalam pertemanan biasa dan sering bertemu dan menyumbang karya cipta puisi pada acara Puisi & Sastera yang diasuh oleh penyiar Ibrahim Indah – juga seorang seniman sastra dan lukis, pada Radio Amatir Favourite, berlokasi di Taman Ria Remaja Pantai Waihaong Ambon. Keakraban yang dibangun dalam satu kecintaan terhadap seni, melahirkan pemikiran untuk ditindaklanjuti menjadi sebuah wadah permanen dengan kemampuan dan ketrampilan seni lukis sebagai dasar dan serta spesifikasi khusus oleh masing-masing orang.

Gagasan awal oleh saya pribadi – Ghalip MTh (nama seniman - Sastra),  bersama Cecen IR (Husein Laturua - Lukis), N.W.Kelana (Nohor Wally - Kria), Nano(Suyatna - Tari dan Puisi), dan M. Donal(Muhammad Donal - Kria))* dan Aan (Aan Suherman – Modifikasi Otomotif).  Terdapat hanya 6(enam) orang tersebut di atas dengan status sebagai Anggota Tetap, masing-masing memiliki keahlian tersendiri di bidang seni lainnya, tetapi sama-sama memiliki keahlian utama seni melukis, selebihnya yang lain adalah sebagai kontributor, anggota binaan, simpatisan dan anggota kehormatan, serta tidak terlibat secara struktural dalam badan organisasi.

Selain hanya anggota tetap yang juga sekaligus pengurus, terdapat beberapa lagi yang ikut serta berkontribusi, seperti Yusuf Idrus – Abang Ucu, beliau karyawan pada arena hiburan rakyat Ambon tersebut. Kemudian bergabung M. Sidik L(Muhammad Sidik Lukman – seniman lukis), Umar Silawane, pematung natural juga ikut bergabung dengan keahliannya untuk seni patung. Mudammad Dun Basyir, seorang Dokter tentara yang berpangkat Kapten, bertugas pada Rumah Sakit Tentara Ambon, bergabung bersama dengan seni lukis ekspresionis khususnya tentang cerita Pewayangan.

Di bulan Agustus 1984, untuk pertama kalinya kami bersama bergabung secara organisasi dan mengikuti Pameran Pembangunan Maluku yang berlokasi di arena dimaksud. Karya-karya seni, lukisan, seni kerajinan termasuk sablon dan cipta seni lainnya kami tampilkan dalam stand khusus seni satu-satunya pada pameran itu dan menggunakan nama resmi pertama kalinya yaitu Bengkel Seni Yamuyaka.

Antara penciptaan karya seni dan usaha bagi kebutuhan hidup, seiring dalam perjalanan pengembangan organisasi. Sebagian karya cipta seni hanya untuk menuangkan ide dan gagasan, selebihnya hanya kepuasan batin, begitulah jiwa seniman. Untuk kebutuhan dana dan pembiayaan, usaha reklame produk dagang berupa spanduk, cetak sablon berbagai atribut, billdboard maupun landskap taman, dekorasi, maupun kerajina seni kria, dijadikan sebagai sumber pendapatan baik untuk kepentingan ekonomi pribadi masing-masing anggota dan disisihkan buat pendanaan aktifitas program organisasi. 


M. Thaha Pattiiha  Persiapan Materi Seni Kerajinan menjelang keikut-sertaan BS.Yamuyaka pertama kali pada Pameran Pembangunan Provinsi Maluku, Agustus 1984
 M. Thaha Pattiiha
Persiapan Materi Seni Kerajinan menjelang keikut-sertaan BS.Yamuyaka pertama kali     
 pada Pameran Pembangunan Provinsi Maluku, Agustus 1984 (Foto Repro.Dok)

Bengkel Seni Yamuyaka, seiring waktu terus berkiprah dalam berbagai aktifitas kesenian di kota Ambon. Beragam prestasi dan partisipasi kreatif diukir dan tersematkan. Oleh (dulu) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Kotamadya Ambon dan Bidang Pembinaan Generasi Muda Depdikbud Provinsi Maluku menjadikan cara pengorganisasian yang kami praktekan sebagai model contoh terhadap pembinaan dan pengembangan Sanggar-sanggar seni, khususnya di kota Ambon dan Provinsi Maluku, saat itu.

Dalam kepengurusan organisasi tetap dengan hanya mengandalkan Anggota Tetap yang hanya dibatasi sebanyak 6(enam) orang, tidak pernah bertambah, kecuali berkurang, itupun tanpa penggantian dengan anggota baru. M. Donal adalah yang pertama menjadi Ketua, sementara saya sebagai Sekretaris, hingga kemudian M. Donald wafat pada tahun 1988.  Selanjutnya saya menjadi Ketua dan Cecen IR sebagai Sekretaris, hingga vakumnya aktifitas sejak dipenghujung tahun 1995 hingga saat ini, karena saya harus berpindah domisili untuk kegiatan usaha di Jakarta. Aktifitas rutin event akbar yaitu Festival Qasidah Walikota Cup pun berakhir, bersamaan dengan keputusan saya untuk diakhiri setelah penyelenggaraan festival yang ke – 10(sepuluh) pada tahun yang sama - 1995.

Bengkel Seni Yamuyaka untuk memaksimalkan kapasitas, maka diprogramkan agar lebih menitikberatkan kepada kualitas karya dan hasil pembinaan seni kepada peserta binaan dan dalam setiap partisipasinya di masyarakat. Sebab maksud pembentukannya tidak hanya dikhususkan buat kepentingan kalangan anggota sendiri saja, tetapi diperuntukan buat siapapun secara luas di masyarakat.

Penonjolan pada pewadahan bersifat total seni yang representatif dan berbobotkan seni secara konstruktif  dalam pemahaman, matang dalam implementasi dan menghasilkan prestasi, serta untuk dapat ditampilkan ke publik. Hal ini  memungkinkan harapan terpatri pada hasilnya  dapat berkesinambungan untuk dilanjutkan generasi penerus berikutnya. Karena pada dasarnya, prinsip seni bukan untuk diri sendiri, sebaliknya diri sendiri atau siapapun selalu akan membutuhkan seni, sebagai pengasah kehalusan jiwa agar terbangun kepekaan dan tanggap terhadap nilai kebajikan untuk dipraktekan dalam kehidupan.


Festival Qasidah dan Para Tokoh

Sederet tokoh berperan serta secara kontinyu terjalin komunikasi yang akrab melalui perhatian dan pembinaan terhadap keberadaan Bengkel Seni Yamuyaka saat itu.

Untuk Piala Bergilir Walikota Cup yang terdiri dari (dua) buah piala untuk tingkat anak-anak dan Remaja atau umum. Pertama kali piala disumbangkan oleh Walikota Ambon Albert M. Purwaela dan piala bergilir kedua oleh Walikota Dicky Wattimena. Piala bergilir pertama tingkat remaja atau umum, dimatikan di SMAN II Ambon sebagai Juara Umum 3(tiga) kali berturut-turut, dan piala bergilir ke-2 berakhir ditangan Sanggar Seni Mayangsari Waehaong, berkenaan penghentian festival. Terdapat dua piala bergilir, masing-masing untuk katagori tingkat Remaja atau umum dan tingkat anak-anak. Piala bergilir tingkat anak-anak, belum pernah dijuarai 3(tiga)kali secara berturut-turut olh peserta group anak-anak selama berlangsungnya fetival, sehingga tidak pernah diganti. 

Selama penyelenggaraan festival, terdapat dua orang tokoh Sekretaris (Sekda) Kota Ambon, pertama Fatah Syah Doa dan kemudian Sekda Jop Tamtelahitu, mereka rutin dan tidak pernah absen sekalipun untuk hadir untuk membuka maupun menutup acara festival.

Peran luar biasa oleh Jan P. Mailoa Kepala Kantor Depdikbud Kota Ambon, dengan pembina tekhnis Kepala Seksi Kebudayaan Frans Lansamputty, yang langsung di lapangan dan sangat aktif rela membagi ilmu seni suara dan seni musik kepada para peserta Festival. Beliau begitu sabar dan rela menempuh perjalanan jauh, diwaktu siang dan malam hari, hanya untuk menemui para peserta di tempat latihannya masing-masing. Tulus membagi ilmunya, melakukan pelatihan singkat olah vokal, olah musik, keserasian irama musik dan lagu untuk keindahan bernyanyi, cara membaca notasi lagu, bahkan mengajarkan cara mengarang atau mencipta lagu Qasidah menggunakan partitur not angka.
Festival Qasidah Walikota Cup selama sepuluh kali atau sepuluh tahun penyelenggaraan (1985 – 1995), telah melahirkan begitu banyak pemusik, penyanyi, pencipta lagu, hingga berlanjut menjadi pelatih. Happy ending – nya, meneguhkan keyakinan dan kebanggaan diri bermusik Qasidah, dan menapaki karier scara berani dan pasti di dunia music umumnya, khususnya dikalangan generasi seniman musik Muslim di Kota Ambon.

Qasidah, jenis musik berlatar nuansa Muslim yang hanya dikhususkan sebagai media da’wah, dengan tifa rebana sebagai alat musik utama, sebelumnya hanya dimainkan asal-asalan dan tidak memuaskan untuk dinikmati sebagai sebuah persembahan seni musik dan seni suara. Kesan “musik kampungan” kental, sehingga jarang ada yang bangga.

Melalui cara dan sistem pengelolaan festival yang cerdas sebagaimana dipraktekan dan kembangkan Bengkel Seni Yamuyaka sebagai penyelenggara, mampu membawa musik Qasidah ke jenjang terhormat dan membanggakan, selain dapat lanjut positifnya menghasilkan begitu banyak bibit pemusik dan penyanyi Muslim Ambon. Kita sama tau, sebelumnya bukan apa-apa, karena memang tidak ada pembinaan lebih baik.

Sebagai media pembinaan, keterlibatan yang luas dan beragam dari peserta telah mencapai sasaran. Peserta tidak saja dari kalangan organisasi atau Sanggar seni, Taman Pengajian, Remaja Islam, Remaja Komplek, tetapi juga dari lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta di kota Ambon, seperti SMAN 1, 2, dan 3, SMA Muhammadiyah, SMA KCK dan lain-lain. SMAN 2 Ambon adalah yang paling sukses karena berhasil menjadikan piala bergilir pertama menetap di sekolahnya, karena 3(tiga) kali berturut-turut merebut Juara Umum.

Berlaku sejak tahun 1997, “gengsi” event festival makin dimantapkan dengan dimasukan secara resmi sebagai salah satu dari sejumlah mata lomba tetap dalam agenda kegiatan memperingati Hari Ulang Tahun(HUT) Kota Ambon. Di malam puncak peringatan HUT Kota Ambon tahun tersebut di Lapangan Merdeka, Piala Bergilir Festival Qasidah Walikota Cup merupakan satu-satunya piala yang diserahkan oleh Walikota Ambon Dicky Wattimena, mewakili secara simbolis penyerahan piala-piala para juara dari puluhan mata lomba yang lain.

Tidak sia-sia hasil dari festival dimaksud, seniman nyanyi dan musik dari kalangan Ambon Muslim antara lain seperti Amir Palembang, Abuya Bahaweres, Ela Bin Umar, Lily Kari, Efendi Patty, Gatot P.Hallauw, hingga Onco A. Sopalauw, Jefri Banama, Edy Wakano, Bustamin, hingga Gabriel Attamimi. Adalah beberapa nama dari sekian banyak yang terbina, mahir dan besar oleh keberadaan panggung Festival Qasidah Walikota Cup. Terdapat beberapa orang peserta yang sejak anak-anak sudah  pernah mengikuti festival pada group tingkat anak-anak, dan ketika sudah berusia remaja atau dewasa, masih kembali melanjutkan menjadi peserta di group tingkat remaja.

Pada setiap tahun penyelenggaraan festival, selalu berganti personil kepanitiaan yang ditunjuk sebagai pelaksana oleh BS.Yamuyaka. Terdapat mantan Ketua Panitia Festival seperti Zainuddin Boy, sekarang adalah ketua DPRD Kabupaten Buru Selatan, sebelumnya Ketua DPRD Kabupaten Buru, juga Abdullah Marasabessy, sekarang anggota DPRD Provinsi Maluku, selain mantan Ketua Panitia yang lain, ada yang sebagai Dosen maupun sebagai pejabat dipemerintahan. Memang tidak dengan menjadi pelaksana event seni seperti itu, kemudian baru bisa menjadi sesuatu hari ini, hanya sekadar catatan sejarah perjalanan yang kebetulan pernah bersentuhan dengan aktifitas program pembinaan BS.Yamuyaka. Nilai plus-nya adalah menjadi salah satu cara lain dalam mematangkan kemampuan generasi masa depan, adalah memperluas ragam kiprah dengan tantangan berbeda untuk kematangan mental dan kemampuan kepemimpinan selanjutnya.

Apresiasi diberikan kepada mereka para tokoh, pelaku, dan penyelenggara, yang telah berjasa dalam melahirkan episode generasi musik Qasidah modern sebagai media pembinaan bakat dan prestasi, menjadi kebanggaan yang pantas ditampilkan untuk dinikmati sebagai sebuah tontonan karena keindahan musik dan suara indah penyanyinya, selain pesan bijak dalam syair-syairnya.

Kesan luar biasa yang tidak dapat dilupakan, adalah bahwa musik Qasidah yang adalah musik bernuansa Islami, mendapatkan dukungan partisipasi yang bernilai indahnya kesatuan dalam kemajemukan kehidupan bersama. Betapa tidak, para tokoh tersebut di atas, lebih khusus Frans Lansamputty, para pelatih Group dari SMAN 1, 2, SMA KCK, SMAN Lateri dan sebagian pelatih di group-group  Qasidah, sebagian pemain musik, dan penyanyi seperti dari SMAN 1 adalah beragama Nasrani.

Ada yang sempat mempertanyakan keterlibatan maupun keikutsertaan pelatih dan pemain dari bukan Muslim kepada BS.Yamuyaka, dijelaskan bahwa letakkanlah landasan pijak berpikir adalah sebagai media pembinaan dasar untuk mengembangkan bakat seni generasi muda Ambon. Intinya adalah wadah belajar, ajang berekspresi dan berkreasi dibidang seni musik dan seni suara, kebetulan saja bernuansa Islam. Tidak ada yang berbeda dengan belajar aliran musik lainnya, karena penyanyi atau pemusik dapat menampilkan dan atau memainkan aliran musik apapun, tanpa harus mengganti keyakinan agamanya, hal yang seharusnya demikian. Sumbangsih dan partisipasi tentu patut diapresiasi dan diingat, bahwa kemajuan yang dicapai dalam cara bernyanyi dan bermusik Qasidah di kota Ambon, ada  kontribusi perbaikan dari basudara Sarani(Saudara, beragama Kristen).
BS Yamuyaka telah menerobos sekat dan menjadikannya aula yang menghimpun dan menyatukan rasa dan membangun tekad kebersamaan dalam cara pembinaan bakat generasi muda di kota Ambon. Panggung disediakan secara berkala dan membebaskan dengan penataan cara dan aturan yang mengarah kepada sasaran peningkatan dan pencapaian hasil maksimal.

Dalam penyelenggara festival ke–10 tahun 1995, kepanitiaan ditunjuk dari salah satu organisasi seni dan budaya Cabang kota Ambon, hanya saja sangat disayangkan kemudian. Sebab oleh sang ketua panitia yang ternyata menggunakan keramaian festival untuk berkepentingan sepihak, yaitu ajang publikasi sebuah partai politik. Syahwat politik praktis dikontaminasikan dalam kegiatan festival termasuk untuk penentuan juara-juara. Festival terciderai, keluar dari rel makna luhur maksud awal yang telah lama terjaga dan terpelihara. Menjadi anti klimaks sekian waktu penyelenggaraan, maka sejak itu festival diputuskan berhenti, hingga saat ini.

Makna luas dari maksud penyelenggaran Festival Qasidah Walikota cup, bersifat multi guna dalam praktek cara pembinaan dan pengembangannya.  Ini adalah kerja pengorbanan, tetapi dapat secara tulus dilakukan dengan tanpa ada indikator kepentingan yang tidak berhubungan dengan semata pembinaan bakat dan prestasi generasi muda, khususnya seni musik Qasidah di kota Ambon. Mesti juga demikian menjadi contoh untuk bidang seni musik dan seni suara umumnya, dan untuk bidang yang lain.
  
Bengkel Seni YAMUYAKA ; Catatan Sejarah Sanggar Seni Di Kota Ambon
 Menerima Piala Bergilir Walikota Cup, oleh Kordinator Festival sekaligus Ketua BSYAMUYAKA dari Sekretaris Daerah Kota Ambon Bapak  Jop. Tamtelahitu, di dampingi Promotor BS.YAMUYAKA Yusuf Arsyad(Abang Ucu) pada malam final Festival ke-5/1989 di Gedung Islamic Centre Ambon (Foto Repro.Dok)



Partisipasi dan Prestasi

Sidang Raya Dewan Gereja Indonesia (SR.DGI) X di kota Ambon tahun 1987, mengagendakan acara lomba lukis poster, dilaksanakan dberlokasi di halaman depan gedung Gereja Bethel Mardika Ambon. Peserta dibagi 3(tiga) orang per kelompok. BS.Yamuyaka dengan 6 (enam) orang saja anggota tetapnya menjadi 2(dua) kelompok, yaitu Yamuyaka I dan Yamuyaka II. Hasil akhir penilaian Juri lomba yang bertema “Yesus Kristus Kehidupan dunia”- sama dengan tema SR DGI X, yang diumumkan sore harinya di dalam ruang ibadah gereja Bethel.  Yamuyaka I dengan judul poster “Bersatulah Dalam TanganKu” sebagai Juara I dan Yamuyaka II dengan judul poster “Ikutlah di jalanKu” sebagai juara II. Lomba yang menoreh prestasi luar biasa, memberikan kesan indah. Betapa tidak, saat sebelum Pendeta memulai memimpin do’a setelah pengumuman juara  di sore hari lomba, sempat beliau berkomentar ; “Beta pung ana-ana Salam ternyata lebe mangarti katong pung tema Sidang Raya DGI daripada ana-ana Sarani”.

Bahwa hanya peserta dari BS.Yamuyaka memang yang Muslim dan bisa berhasil sebagai juara mengungguli puluhan kelompok lain. Tetapi sebenarnya sederhana jawabannya, letaknya ada pada kemampuan memahami makna tema lomba dan membedakan lukisan biasa dan lukisan poster.    Selain karena sehari sebelum lomba,  telah sempat keluar masuk beberapa Gereja dan bertemu dengan para Pendeta untuk bertanya dan berdiskusi tentang makna luas dari tema Sidang Raya yang juga menjadi tema lomba dimaksud. Hal itulah yang membedakan dengan peserta lain, bukan hanya kemampuan tekhnik melukis.

Masih dalam event yang sama – SR DGI X, oleh Walikota Ambon Albert Purwaela, BS.Yamuyaka, mendapat tugas “unik” yaitu membuat sebuah anak kunci dari besi seukuran tangan orang dewasa. Anak kunci tersebut disepuh atau dilapisi emas murni, dibuat untuk diserahkan kepada Presiden Soeharto – beliau berhalangan hadir dan diwakili kalau tidak salah oleh Menteri Agama RI, saat tiba di Bandara Pattimura. Anak kunci dimaksud secara simbolis digunakan membuka Gerbang Maluku melalui Kota Ambon, sebagai penyelenggara acara Sidang Raya DGI X. Kami menyanggupi menyelesaikannya lalu diserahkan langsung kepada beliau di rumah kediaman Walikota di Batu Meja Ambon.

Saat ini, masyarakat sudah dapat menyaksikan dan memanfaatkan jembatan penghubung Teluk Ambon antara Galala – Poka/Rumahtiga, jembatan Merah Putih namanya. Impian yang mungkin sebelumnya belum terbayangkan atau dipikirkan orang lain, tetapi ternyata sudah dilukis sebelumnya dalam bentuk lukisan poster oleh pelukis BS Yamuyaka ;  Nano Suyatna. “Ambon di masa depan”, merupakan tema lomba lukis poster HUT Kota Ambon di tahun 1988. Lukisan tersebut memperoleh juara III dan dipamerkan si sepanjang pagar pembatas lapangan Merdeka Ambon bersama lukisan poster yang lain.

Suatu imajinsi brilian sang pelukis karena dapat menjangkau masa depan yang ternyata kemudian terbukti jembatan imajinernya sekarang telah terbangun. Lukisan dengan jembatan tersebut perspektifnya terlihat dari teluk dalam dengan latar belakang kota Ambon. Hanya saja dalam lukisan tersebut suasana jembatan terlihat sepi, terdapat bentangan ikatan pita dari samping ke samping tangan jembatan. Ketika oleh juri lomba dipertanyakan, kenapa tidak ada terlihat - dalam lukisan, kendaraan atau manusia yang lalu lalang. “Sebabnya jembatan belum diresmikan, belum pengguntingan pita”, jawab sang pelukis. Jawaban politis, karena yang bersangkutan sebenarnya berbohong hanya untuk menutup kelemahannya yang memang tidak bisa melukis manusia secara natural.
Bengkel Seni YAMUYAKA ; Catatan Sejarah Sanggar Seni Di Kota Ambon
   Di tahun 1988 Nano Suyatna - anggota BS.YAMUYAKA, secara imajiner dalam lomba lukis poster HUT Kota Ambon, jembatan "Merah"Putih" ini telah di lukisnya. (Foto Dok.Pribadi)

Lomba lukis poster HUT Kota Ambon secara berturut-turut dari tahun 1987, 1988 dan 1989 BS Yamuyaka selalu menempati Juara pertama dan kedua. Sesuatu yang kemudian kami hentikan keikut-sertaan di tahun-tahun berikutnya untuk memberikan kesempatan kepada yang lain bisa juga menjadi Juara.

Bersama Cecen IR dan saya, kami ditunjuk mengikuti Karyawisata Pameran Produksi Indonesia (PPI) 1985 di Jakarta, dengan status mewakili Maluku sebagai Pemuda Berprestasi Mandiri. Selain itu saya sendiri terpilih sebagai peserta pria dan berpasangan dengan peserta wanita yang berasal dari Sekolah Tinggi Theologia(STT) GPM Ambon, kami berdua mewakili Maluku pada ajang Lomba Baca Puisi Tingkat Nasional yang laksanakan di arena PPI. Kami berdua tidak mendapat juara, tetapi saya sendiri masih berhasil lolos masuk ke babak final.

Ide-ide kreatif selalu diciptakan oleh BS Yamuyaka saat itu. Kepada pemerintah kota Ambon, sumbangsih ide, pemikiran untuk memperindah kota Ambon diusulkan. Seperti usulan untuk membangun Pusat Kerajinan Rakyat Maluku di atas lahan Taman Victoria, guna menjual souvenir khas Maluku dan menjadi Taman Reakreasi masyarakat kota Ambon. Usul itu disampaikan di jaman Walikota Ambon Johanis Sudiono. Demikian juga dengan penempatan pot-pot kembang di trotoar jalanan dalam kota Ambon, ide original karya ciptanya berasal dari BS,Yamuyaka, yang diperuntukan untuk digunakan oleh Forum Komunikasi Karang Taruna(FKKT) Kota Ambon.

Karya cipta partisipasi yang lain, seperti kendaraan hias pawai pembangunan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia milik (dulu)Departemen Kesehatan Provinsi Maluku, 2(dua) kali berturut-turut menyabet juara I. Demikian juga mampu membuat maket atau miniatur Stasiun Penampungan BBM Indonesia Timur – Waiyame Ambon.

Oleh pemerintah kota Ambon, BS Yamuyaka pada di tahun 1987, juga diminta merancang monument tanda persahabatan antara kota Ambon (Indonesia) dan Darwin (Australia). Maka terciptalah aikon atau perlambang dengan model berupa patung Lumba-lumba(Aikon kota Ambon) menyatu bersama Kanguru(Aikon kota Darwin)”. Sebanyak 6(enam) buah rancangan gambar dihasilkan. Semua rancangan gambar diserahkan kepada pemerintah kota melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Entah mengapa, monumen yang rencananya saat itu hendak dibangun di pertigaan (sekarang ; lampu lima) Hatiwe Kecil, tidak pernah berdiri hingga saat ini.


Prasasti Dan Konversi Pengabdian Seni

Bengkel Seni Yamuyaka, merupakan wadah berhimpun generasi kreatif yang melakukan sesuatu hanya berdasar inovasi untuk pengabdian membina bakat dan kreatifitas bagi orang lain, tanpa menonjolkan siapa-siapa dibaliknya. Hanya menampilkan apa yang diperbuat dan dipersembahkan, tanpa harus mengenalkan kreatornya. 

Kemampuan seni yang dimiliki, lebih pada ketekunan belajar secara otodidak, sehingga usaha luar biasa dilakukan oleh personil BS Yamuyaka dengan mencari dan menghimpun pengetahuan melalui buku-buku seni, berita dan tulisan tentang beragam bidang seni pada koran dan majalah. Menghimpun katalog pameran-pameran lukisan pelukis nasional dan intrnasional, berkorespondensi dengan berbagai seniman besar Indonesia, antara lain A.D.Pirous, para pelukis alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta (untuk pelukis), W.S. Rendra, Putu Arya Tirtawirya, Diah Hadaning, Sutarji C. Bahri(untuk sastera). Berlangganan Majalah Sastera Horizon.

Belajar kepada senimana lokal pun dilakukan, seperti pelukis yang juga sastrawan Ibrahim Indah, pelukis dan pembina pelukis muda Maluku pada Musium Siwalima Ambon ; Lambert Yoseph. Sejarah dan perkembangan kesusasteraan di Maluku seperti karya puisi dan sejarah dari 2(dua) pujangga Maluku, Dominggus W. Syaranamual dan Luck Wairata, juga dipelajari dan dikaji, ditulis dalam Buletin Sastera Tanase.

Bidang seni lukis adalah salah satu dari bidang seni lainnya yang ditekuni dan dikembangkan BS Yamuyaka. Selain itu bidang kesusasteraan, rutin penciptaan puisi maupun cerpen, sebagian pernah dimuat dimedia nasional seperti koran Kompas minggu, koran Shimponi, majalah Sahabat Pena untuk karya cipta puisi, dan majalah remaja Anita dan majalah Kumpulan Cerpen, untuk cerita pendek(Cerpen).

BS Yamuyaka secara rutin antara satu hingga dua bulan sekali penerbitkan Buletin Sastera Tanase, sebagai media komunikasi dan publikasi karya sastera antara sesama anggota se-Indonesia atau Nusantara, yang tergabung dalam jaringan lembaga Himpunan Penulis Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N). Buletin sederhana yang dibuat dengan mesin ketik manual dan diperbanyak dengan cara difoto-copy. Arsip terbitan Buletin Sastera Tanase masih dapat ditemui hingga saat ini di Pusat Dokumentasi Sastera H.B Yasin Taman Ismail Marzuki, Cikini – Jakarta.

Semua itu dilakukan secara terencana agar bisa mengetahui dan memahami perkembangan seni secara nasional maupun daerah Maluku sendiri.

Pengabdian terhadap pengembangan seni, secara lebih lanjut kemudian dikonversikan menjadi keahlian untuk menjalani dan mengembangkan usaha ekonomi produktif. Keahlian dan ketrampilan yang secara kreatifitas dan bahkan bernilai ekonomi, sebelumnya sebagai putra-putra Maluku masih jarang atau enggan menekuni bidang yang berhubungan dengan profesi ”belepotan cat” atau “berkotor-kotor ria”, padahal nyatanya menjadi rejeki bagi orang lain yang datang dari luar Provinsi Maluku. 

Proses pengerjaan Billboard Reklame Minuman oleh anggota BS.YAMUYAKA tahun 1991 di Amahusu   (Dari kiri; Mansyur Ulu, Nano, Mahdi)
Proses pengerjaan Billboard Reklame Minuman oleh anggota BS.YAMUYAKA tahun 1991 di Amahusu
 (Dari kiri; Mansyur Ulu, Nano, Mahdi) (Foto Repro/Dok.)

Billboard Reklame Minuman hasil (8x4meter) karya anggota BS. YAMUYAKA di tahun 1991, siap pasang
Billboard Reklame Minuman hasil (8x4meter) karya anggota BS. YAMUYAKA di tahun 1991, siap pasang (foto Repro. Dok)

Konversi dari penguasaan seni lukis atau menggambar, pengembangannya dengan melalui penguasaan tekhnik pembuatan reklame billboard, tekhnik cetak sablon, spanduk dan seni kerajinan lainnya. Semua usaha peningkatan pengetahuan, kemampuan maupun keahlian dilakukan secara sungguh-sungguh sehingga mampu mengadopsi dan menguasainya. Selanjutnya ditekuni sebagai usaha untuk mendapatkan penghasilan guna kebutuhan ekonomi masing-masing anggota. selanjutnya diajarkan kepada anggota binaan.

Demikian catatan aktifitas, peristiwa, yang pernah dilakukan dan ditekuni. Disampaikan ke publik untuk diingat kembali sebagai sesuatu yang bernilai motivasi dan inspirasi, khususnya bagi generasi muda dan masyarakat kota Ambon di masa kini.

Detailnya mungkin tidak tersampaikan secara lengkap karena ditulis secara tulisan lepas, sehingga bisa saja ada yang terlewati, atau bahkan terlupakan. Sejatinya inilah sepenggal ceritera apa adanya oleh yang mampu pernah diperbuat, setidaknya agar tak lekang oleh waktu dan tidak sampai terhapus dari kenangan masa.

Bengkel Seni Yamuyaka, menjadi bagian dari catatan sejarah perkembangan seni dan kontribusinya dapat dijadikan sebagai motivasi mengembangkan aktifitas seni yang lebih baik lagi. Biarlah yang tinggal hanya sejarahnya, paling tidak ada sebentuk monumen dalam catatan singkat kreatifitas, inovasi, karya, prestasi, dan partisipasi bagi dunia kesenian.

Catatan ini sebentuk sumbangan motivasi terhadap cara mengasah kemampuan generasi muda, dalam menerjemahkan masanya agar lebih bermakna dan bernilai lebih baik lagi. Dan kisah tentang Bengkel Seni Yang Muda Yang Berkarya mungkin telah berakhir, atau akan berlanjut dengan kisah baru bersama wajah yang lain.

Di haribaan kenangan, biarlah Bengkel Seni Yang Muda Yang Berkarya bersemayam dengan cerita manis dari karya indah prasasti sejarah seni dari suatu kurun waktu, terhadap pembinaan dan pengembangan bakat seni generasi muda yang pernah ada di kota Ambon - manise.

Ditulis di ; Kota Depok, 03 April 2016
                                                                                                 M. Thaha Pattiiha )*

------------------------------------------------------------------
)* Mantan Ketua Bengkel Seni YAMUYAKA
Catatan :
-   Tulisan ini semata mengandalkan daya ingat.
Sebab sumber dokumentasi data, catatan, dan foto,
telah lenyap pada peristiwa Tragedi Maluku 1999.

Saturday, May 28, 2016

ALIFURU BUKAN HANYA DI PULAU SERAM

    ALIFURU BUKAN HANYA DI PULAU SERAM
Pulau Buru, salah satu pulau Kepulauan Bangsa Alifuru - Maluku

                      Kepulauan Maluku merupakan suatu kesatuan wilayah, sekaligus satu kesatuan suku-bangsa, yang saling terkait secara menyeluruh. Tidak terpisahkan menurut kewilayahan dan komunitasnya secara tidak terkait, untuk apapun alasannya berdasarkan faktor sejarah keberadaan dan kepemilikan. Memisahkan komunitas karena wilayah domisili yang terpisah oleh lautan, menunjukan kedangkalan pemahaman dan pengetahuan tentang Maluku. Akibatnya menimbulkan kerancuan pengetahuan, bahkan dapat saja dibaca negatif bermaksud meracuni dengan upaya memilah dengan cara memisahkan dan mungkin saja untuk memutus mata-rantai, yang akhirnya melemahkan. 

Hal ini setidaknya dibaca terbalik, dibalik maksud mungkin juga tujuan dari dan oleh adanya sebuah penulisan katagori tulisan ilmiah, yang bersumber dari suatu hasil penelitian akademis dan kemudian dipublikasikan.
Dalam sebuah tulisan ilmiah, sekalipun bersifat populer, tetap saja harus memenuhi kaidah kesempurnaan tulisan yang tentu memiliki nilai pertanggungjawaban secara keilmuan atau  akademis. Sejatinya, saya tidak bermaksud menceramahi siapapun, akan tetapi sekadar mengingatkan dan meluruskan untuk sesuatu yang dianggap keliru atau juga sengaja mengabaikan kesungguhan dan kejujuran terhadap ungkapan suatu hal, baik itu sejarah, peristiwa, atau sekadar informasi umum.
Saya tidak sama sekali bermaksud hendak menyatakan lebih tau dan pintar, tetapi merasa lebih memahami apa yang diungkap dalam isi dan maksud tulisan tersebut yang bisa berpengaruh menjauhi kebenaran sesungguhnya, atau memang karena kurang pengetahuan tentang hal yang diungkap. Bila karena kurang pengetahuan – belum tahu, tentu dapat dimaklumi.
Untuk mengimbangi dan mencoba mendudukkan kebenaran sesungguhnya, maka tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi secara umum dan parsial terhadap sebuah tulisan yang merupakan hasil penelitian dan telah dipublikasikan pada sebuah jurnal ilmiah pada tahun lalu, tentang sejarah suku-bangsa Alifuru yang mendiami pulau Buru.
Terdapat pertanyaan tetapi bukan mengenai hasil keseluruhan penelitian, tetapi ketika menyebutkan suatu kelompok masyarakat pada sebuah wilayah atau teritorial tertentu, secara kesejarahan sudah pasti memiliki ikatan asal-usul dalam bentuk identitas suku atau bangsa. Sesuatu yang melekat pasti untuk komunitas masyarakat yang berdiam pada suatu wilayah dalam jangka waktu yang lama dan telah dapat dipastikan adalah pemukim pertama dan tentu sebagai pemilik teritorial dimaksud. Tidak terkecuali penduduk asli yang mendiami pulau Buru, mereka adalah bagian tidak terpisahkan dalam komunitas kesatuan suku-bangsa Alifuru, suku-bangsa satu-satunya sebagai penduduk asli pemukim dan pemilik kepulauan Maluku.
Jangan sampai ada kesan menghindar untuk mengakui atau mungkin memang tidak paham, bahwa penduduk asli pulau Buru adalah juga suku-bangsa Alifuru. Tidak juga sampai menyebut kata Alifuru dalam pemahaman mengartikannya terdengar aneh dan lucu untuk ukuran masyarakat intelektual. Penyebutan Alifuru kepada masyarakat yang bermukim jauh dari pesisir pantai dan merupakan suku-bangsa asli di pulau Buru, masa sih sebutan  Alifuru artinya “orang balakang” atau masyarakat terbelakang. Alasannya menurut penjelasan yang mengartikannya, dikarenakan penduduk yang tinggal di pegunungan atau dataran tinggi di pedalaman Pulau Buru kehidupannya masih sangat sederhana dan terbelakang.
Sangat disesali, bila pemahaman yang demikian hingga hari ini masih tetap saja “dilestarikan”.
Persepsi (sadar atau sengaja ?)  masih lestari di jaman kemajuan teknologi informasi dan kemudahan mendapatkan pengetahuan dan keilmuan lebih dari masa sebelumnya. Dengan kemajuan dan kemudahan ini pula saya mendapatkan tulisan yang mengganggu serta menggugah untuk ditanggapi dan untuk diingatkan, atas kekeliruan yang di-persepsi-kan.
Ketika membicarakan tentang suku-bangsa Alifuru, khususnya dalam konteks Orang Maluku dengan teritorialnya yaitu kepulauan Maluku(Provinsi Maluku dan Maluku Utara) sudah nyata bersuku-bangsa Alifuru. Hal ini seperti mengajarkan anak belajar membaca, karena harus terus mengulang, tetapi tidak untuk kaum dewasa dan apalagi terpelajar, harusnya  tidak mengulang lagi sesuatu yang mestinya sudah tidak perlu diulang untuk mengingatkan, apalagi dengan maksud ditujukan kepada komunitas intelektual.
Suku-bangsa Alifuru memang selama ini mengalami kondisi tekanan oleh usaha para “siluman”, maupun melalui cara nyata tetapi lembut dan manis. Telah berlangsung secara terus menerus sudah sejak ratusan tahun yang lalu, sehingga identitas asal-usul jati-diri sebagai suku-bangsa Alifuru menjadi terlupakan baik sadar atau tidak maupun karena terpaksa oleh berbagai alasan dalam perjalanan hidupnya.
Banyak faktor penyebabnya, sekalipun belakangan ini orang-orang yang merasa keturunan Maluku, sedang kembali mengenali jati diri dan menemukan titik temu pada lahirnya bahwa ternyata keturunan dari nenek moyang suku-bangsa Alifuru. Bisa jadi karena sekian lama disadari telah kehilangan identitas aslinya oleh adanya pengaruh seperti ;
-       Akibat pengaruh penjajahan bangsa asing selama ratusan tahun dengan misi untuk kepentingannya, telah dengan sengaja menghalangi, meminimalkan, dan hingga menghilangkan identitas asa-usul masyarakat Maluku yang bergaris keturunan suku-bangsa Alifuru. Khususnya yang secara sadar atau terpaksa menjalani kehidupannya bersama bangsa-bangsa asing yang menjajah bumi Maluku.
-    Politik pelemahan kesatuan masyarakat se-suku-bangsa dan penghilangan hak kepemilikan teritorial atau kewilayahan suku bangsa Alifuru sebagai masyarakat asli, sepertinya masih diteruskan oleh pihak lain bukan orang Maluku, dan juga sebagian kelompok masyarakat Maluku karena kepentingan sempit dan sepihak. Berkontribusi pula adalah peran signifikan negara melalui Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang selama 30 tahun berlaku telah melumpuhkan sebagian besar pranata adat di Maluku.
-       Kepentingan politik praktis dan kepentingan politik umum pemerintahan daerah, juga berkontribusi dalam merusak dan berakibat memupus nilai-nilai budaya dan tatanan adat yang bersandar pada keyakinan mitos untuk kearifan. Terkesan dengan mudahnya dieksploitasi tanpa hormat lalu dan dengan alasan yang terkesan “konyol” untuk dimanfaatkan demi kepentingan tertentu dan hanya menguntungkan ego individual serta kelompok, tetapi telah berjasa mengikis kecintaan dan pelestarian kebanggaan jati diri,  hak, juga kehormatan, sebagai suku-bangsa Alifuru pemilik sah kepulauan Maluku.
-       Kesadaran terhadap identitas jati diri yang kadang terabaikan, baik diri pribadi maupun kelompoknya secara umum. Sesuatu yang tidak searah dengan kepribadian dan cara pandang sejarah peradaban manusia yang menata perjalanan kehidupannya dengan berdasarkan asal-usul garis keturunan. Demikian juga dengan Orang Maluku yang saling mengenali diri dan posisinya karena tertib dalam sistem penamaan diri menggunakan marga. Penggunaan nama marga dibelakang setiap nama setiap orang, dan berlaku secara turun-temurun, telah mampu memudahkan pengenalan garis keturunan dan hubungan kekeluargaan diantara sesama orang Maluku khususnya, dan membedakannya dengan yang bukan satu suku-bangsa. Demikian itu adalah tatanan adat yang sangat bijak secara umum berlaku di seanteru komunitas masyarakat kepulauan Maluku dari keturunan suku-bangsa Alifuru. Di manapun di semua pulau di Maluku, orang Maluku dari garis keturunan suku-bangsa Alifuru, dengan mudah mengenalinnya karena pasti memiliki nama marga dan semua marga memiliki makna karena bisa diterjemahkan.
Sebagai “Orang Maluku”; Halmahera, Ternate, Tidore, Sula, Seram, Buru, Lease, Ambon, Kei, Aru, hingga Pulau-pulau Terselatan, dari utara pulau Morotai hingga paling selatan pulau Selaru, semua berkepentingan untuk perduli terhadap identitas jati diri dalam kesatuan asal-usul dari nenek moyang genekologis yang sama ber-suku-bangsa Alifuru, dan hingga kapanpun mesti merasa dan menyatakan diri adalah komunitas atau bagian dari suku-bangsa Alifuru. Jangan pernah memilah persekutuan, apalagi memisahkan kesatuan dalam hak dan kewajiban, dan kebanggaan oleh asal-usul, sebagai suku-bangsa asli pemilik bumi Kepulauan Maluku.
Akhirnya, karena demi kebaikan bersama maka seandainya yang merasa bersangkutan sempat membaca tulisan ini, semoga tidak keliru memahami maksud saya, dan untuk itu pula sengaja tidak mencantumkan secara jelas siapa dan di mana. Tanggapan ini atas tujuan niat baik dan tulus hendak mengingatkan, tidak untuk menyalahkan dan menyepelekan kemampuan dan intelektual yang bersangkutan secara keseluruhan.
Alasan sederhana adalah merasa terganggu dan “tergelitik” untuk hal yang semestinya tidak lagi memunculkan masalah, hanya oleh alasan apapun selain kebodohan sesungguhnya. Sejak awal hingga kapanpun, suku-bangsa Alifuru dan segenap kepemilikannya, adalah jiwa dan semangat yang menjadi kebanggaan bagi beta(saya) dan semua Orang Maluku.
Beta Alifuru, meseee ! 

Depok, 26 Mei 2016
M. Thaha Pattiiha