Alifuru Supamaraina: November 2016

Saturday, November 12, 2016

POLITIK TRANSAKSIONAL

Oleh ; M. Thaha Pattiiha

              Demokrasi Indonesia seharusnya makin baik dipraktekkan setelah era Reformasi tahun 1998, yang mengakhiri masa pemerintahan Orde Baru. Orde Baru dianggap menerapkan demokrasi otoriter, karena membatasi ruang kebebasan berpendapat dan berpolitik warga negara.

Tujuan reformasi, adalah memposisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Prinsip dasar Demokrasi, demos(rakyat) dan kratos(kekuasaan), rakyatlah yang memiliki kekuasaan, penyelenggara negara dikuasakan untuk memenuhi hak-hak rakyat  secara bertanggung jawab.

Masa reformasi memunculkan berbagai kesempatan dan bahkan kebebasan yang oleh sebagian orang berpendapat sudah kebablasan. Kebebasan berpendapat dan berpolitik malah memunculkan permasalahan lain, setelah sistem pemerintahan yang sebelumnya semua tersentralisasi pada pemerintah pusat, dialihkan sebagian urusan menjadi hak pengurusan pemerintahan di bawahnya di tingkat daerah, provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan kota, mendapatkan hak otonom, diberi kesempatan dan diserahkan sebagian urusan menjadi wewenang kekuasaan di daerah. Desentralisasi wewenang dan dekonsentrasi urusan. Tujuannya untuk secara mandiri mengatur urusan pemerintahan dan politik di daerah masing-masing, termasuk menentukan kepemimpinan daerah secara demokratis dengan cara dipilih secara langsung melalui pemilihan umum kepala daerah (Pilkada).

Orde atau era telah berubah, tetapi kesan praktek cara sebelumnya masih tetap terbaca, bahwa pemerintahan yang dibangun melalui demokrasi, seperti tidak berubah cara prakteknya saat kekuasaan telah ada dalam genggaman. Kebebasan memilih pemimpin daerah, masih tersandra oleh aturan umum yang membebaskan ruang bagi sebagian elit politik berkuasa dengan leluasa menguasai pemerintahan. Sebaliknya menyempitkan kebebasan bagi yang lain di masyarakat untuk sama peluang berpartisipasi dalam demokrasi politik, karena butuh tidak sekadar intelejensi dan kapasitas. Kapabelitas dan akuntabilitas pun belum berarti, karena untuk memenuhi taraf elektabilitas, harus didukung kemampuan lobi politik dengan dukungan anggaran pembiayaan maksimal.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 konstruksinya menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Wali Kota harus “dipilih secara demokratis”. Proses awal atau prasyarat yang harus dilewati agar bisa menjadi bakal calon pemimpin daerah, sebelum ditetapkan sebagai calon oleh lembaga pemilihan umum untuk dipilih langsung,  harus lebih dahulu mendapatkan dukungan rekomendasi dari Partai Politik(Parpol), atau dengan melalui dukungan langsung masyarakat untuk bakal calon perseorangan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Dan Walikota dan Wakil Walikota Menjadi Undang-Undang, tidak ada pembatasan syarat dukungan maksimal Parpol untuk seseorang atau pasangan calon kepala daerah, kecuali hanya dukungan minimal. Didalam undang-undang tersebut, juga telah dihilangkannya peluang suara partai yang tidak memenuhi quota perhitungan mendapatkan kursi keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan angka persentasi dukungan minimal baik Parpol maupun dukungan langsung masyarakat untuk calon perseorangan yang telah diperbesar.

Niatnya mungkin untuk memperbaiki kualitas demokrasi sekaligus kuantitas guna efektifitas peran jumlah Parpol karena dianggap terlalu “ramai” dan “sulit”, dalam membentuk kesepakatan atau kesatuan pandang politik bagi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan Demokrasi yang harusnya murni pendelegasian wewenang kekuasaan rakyat untuk mengakomodir kepentingan hak-haknya,  menjadi  rusak oleh praktek politik transaksional, sehingga kekuasaan secara paksa diperoleh pihak-pihak yang bukan utuh mewakili kepentingan rakyat.

Menjadi tidak berbeda perubahan yang dimaksudkan, sebab masih terbuka peluang untuk membentuk Parpol baru di pemilihan umum(Pemilu) berikutnya. Penyederhanaan jumlah Parpol bertujuan untuk adanya peningkatan kualitas peran politik di parlemen dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, maka menjadi tidak berguna adanya pembatasan dimaksud.

Sebaliknya malah melahirkan kelompok elit politik yang mengerucut dalam jumlah yang memudahkan terkontrolnya haluan politik, sehingga menguntungkan kepentingan politik kelompok tertentu  sesuai yang diinginkan.

Pada hajatan demokrasi Pilkada Provinsi dan Kabupaten/Kota serentak tahap ke dua tahun 2017, personal elit kekuasaan dan Parpol, menguasai benar peta politik dalam persaingan merebut dukungan rakyat. Rakyat diposisikan sekadar sebagai alat formalitas mengukuhkan peta demokrasi, yang telah dikondisikan secara sistemik. Bakal calon pesaing, begitu sempit peluang mereka karena dilemahkan melalui kuat-kuatan praktek  kapitalisasi politik dan kemampuan tawar dalam praktek politik transaksional. Parpol pun panen “rejeki politik” sebanyak ketersediaan besaran nilai prosentase dukungan rekomendasi partainya.

Suara konstituen partai maupun suara rakyat umumnya, bukan pertimbangan utama, terabaikan oleh pesona kultur politik pragmatis personal atau kelompok  yang mampu secara kapital dan atau karena kuat dalam penguasaan kekuasaan.

Desain politik pengkultusan dibangun secara paternalistik, dengan pesona pragmatis dalam kekuasaan yang digenggam, dan rakyat dimarginalkan dan tersudut. Rakyat terbelunggu dalam ketergantungan jangka panjang, sehingga mudah dibentuk, gampang dimanfaatkan sesuka keinginan kepentingan sang penguasa. Praktek manipulasi politik “noken” pun secara terselubung disemai melalui program pemberdayaan, yang sesungguhnya memperdaya hak-hak konstitusionalnya.

Praktek politik yang tidak lagi menuntun moralitas sesungguhnya dalam pemenuhan syarat berdemokrasi yang baik dan benar, tetapi telah dikemas dalam model politik transaksional. Politik transaksional dalam Pilkada saat ini malah makin massif dilakukan oleh para pemimpi kekuasaan. Transaksi dukungan politik bernilai angka-angka penawaran, dilakukan secara dibalik tangan, dipatok besaran nilai harganya untuk bisa mendapatkan sebuah rekomendasi bakal calon dari Parpol. Disinilah praktek kapitalisasi politik dalam demokrasi, membuat mahal dan mempersulit bagi yang tidak “bermodal”.

Jangan berharap banyak kualitas demokrasi makin membaik, menyaksikan diskursus praktek demokrasi dalam Pilkada seperti ini, kenyataannya hanya sebatas melibatkan elit yang sedang berkuasa dan Parpol. Posisi rakyat pemilih dalam proses memenuhi hak-hak demokrasinya hanya boleh menunggu saat dipersilahkan di kotak suara, untuk memilih calon “apa adanya” yang belum tentu sesuai figure calon yang diharapakan dan diinginkan oleh pemilih.

Depok, 13 Nopember 2016

Thursday, November 10, 2016

KOTAK KOSONG PILKADA

KOTAK KOSONG PILKADA

          Fenomena Kotak Kosong baru muncul di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahap ke-2 bulan Pebruari 2017, menjadi tidak terbantahkan. Sebaliknya mencengangkan karena menimbulkan tanda tanya. Apa benar hanya pada daerah yang bersangkutan hanya ada satu pasangan calon, sehingga harus melawan kotak kosong. Banyak pertanyaan yang lain menyikapi kenyataan sedemikian.

Desentralisasi kekuasaan dimaksudkan memberikan hak otonomi oleh pusat kepada daerah dengan amanat untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu faktor pendorong adalah berkembangnya pendidikan politik yang dapat membentuk budaya politik partisipan masyarakat sipil (civil society). Peran masyarakat sipil yang baik, dapat meminimalisir pemaknaan tunggal sudut pandang kepentingan sepihak pemegang kekuasaan di daerah, sebaliknya membuka luas ruang demokrasi yang lebih bermartabat bagi partisipasi politik semua warga negara.

Bahwa fungsi seorang kepala daerah yang bijak dan baik, adalah menciptakan peluang lebar dan membuka kesempatan luas berdemokrasi untuk rakyat, agar  leluasa secara aktif dan maksimal menggunakan hak politiknya.

Kepala daerah sebagai pimpinan pemerintahan di daerah (Pemda), dan institusi Partai Politik(Parpol) sebagai kelompok organisasi politik masyarakat sipil (Civil society Politic Organization) di tingkat daerah, mestinya yang berinisiatif. Aktif melaksanakan fungsi melahirkan kader unggul pemimpin untuk memenuhi jabatan pemerintahan dan politik, sehingga terjaga kesinambungan kepemimpinan untuk pembangunan daerah dapat terkondisikan secara stabil. Tidak akan sampai menimbulkan gejolak politik “kasar” dan “kotor” aksi rebut-rebutan, dengan saling menjegal, “melambung di tikungan”. Kuat-kuatan dengan berbagai cara dan strategi, antara yang mempertahankan dan yang hendak merebut, sebagaimana yang nampak disetiap masa pergantian kepemimpinan politik pemerintahan saat ini.

Kehadiran “Tokoh” lain sebagai pesaing dalam Pilkada tidak dianggap musuh berbahaya, bilamana langkah kebijakan pemerintahan telah memenuhi  kriteria berhasil dalam masa kekuasaannya. Modal keberhasilan yang telah diakui rakyat, merupakan peluang untuk berlanjut ke periode masa pemerintahan berikutnya, selain itu tidak sampai penuh nafsu berebutan dukungan rakyat atau Parpol dengan pesaing lain yang hendak tampil.

Parpol malah masih tetap saja bersifat sentralistik kebijakan politiknya di era yang sudah direformasi. Mereka masih menganut sistem kebijakan dan keputusan tersentral kepada lagalitas Pimpinan Pusat Partai dalam menentukan arah haluan politik khususnya untuk kepemimpinan di daerah. 


Baca juga ; 

Regulasi sistem perpolitikan tidak dibuat sendiri oleh pemerintah tetapi bersama Parpol, melalui keanggotaan legislatifnya di parlemen, alih-alih demokratis dan reformis, malah terjebak dalam praktek sentralistik atau memang juga disengajakan demikian.

Dukungan pemberian rekomendasi partainya kepada seseorang bakal calon, tetap saja memiliki borok kejahatan yang melukai nilai demokrasi. Parpol di tingkat daerah hanya berwenang menerima, menampung, menyeleksi bakal calon, selanjutnya elit Pimpinan Pusat Partai yang memutuskan. Proses tahapan yang malah “birokratis”, karena masih mempraktekkanny padahal itu salah satu musuh reformasi. Parpol harusnya  menjadi lembaga yang menjalankan nilai-nilai bijak demokrasi berupa kebebasan yang tidak bertele-tele dan tidak sentralistik, maupun tidak kapitalistik dalam politik. Moral Parpol diuji untuk ikut menyebarkan pendidikan politik yang bebas dari politik pragmatisme.

Dibalik keputusan dengan segala alasan rasional dan moral yang nampak dipermukaan, tersirat transaksi hitung-hitungan kapitalisasi nilai tawar. Ukurannya total jumlah kursi dirinci satuannya dengan besaran angka yang sangat elastis, berdasarkan kemampuan jaringan lobby dan kekuatan kantong para bakal calon. Hal ini tidak akan mungkin ada “berita”nya, tertutup dan sama-sama maklum.

Kesempatan bagi bakal calon perseorangan atau independen, dikesankan tidak berbeda kerepotannya dengan bakal calon melalui rekomendasi Parpol. Serba-serbi prasyarat yang harus dilewati dan hambatan tak terkira dan tidak mampu dilawan, menjadi alasan gagalkan peluang bakal calon perseorangan. 

Adanya kotak kosong merupakan fakta, telah terjadi praktek demokrasi transaksional dan oligarki. Silahkan saja dimaknai dengan bantahan dalam kepentingan menurut sudut pandang masing-masing, baik Personal calon maupun Parpol, sudah tentu akan menjadi bias dan silang pandang karena relatif pasti akan dirasionalkan dengan berbagai alasan pembenaran.

Pasangan calon tunggal yang akan melawan kotak kosong, rata-rata oleh orang atau pasangan yang sementara memegang tampuh jabatan pemerintahan daerah tersebut (incumbent atau disebut petahana)

Terdapat ada 11(sebelas) pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dalam Pilkada serentak 15 Januari 2017, yang merupakan calon tunggal, sehingga akan berhadapan dengan "Kotak Kosong". Salam satu pasangan calon tunggalnya antara lain di Kabupaten Maluku Tengan, Provinsi Maluku.




Peluang orang yang untuk berpartisipasi sebagai bakal calon kepala daerah, dihentikan hanya karena tidak memperoleh rekomendasi Parpol sebagai akibat aksi borong yang adalah oleh petahana hanya agar bisa menjadi pasangan calon tunggal. Disini, terjadi aksi  kuat-kuatan yang selalu memposisikan petahana sebagai unggulan dan hingga berhasil sebagai pemenangan perebutan hampir semua rekomendasi Parpol. Bila pun ada Parpol yang disisakan, dipastikan tidak akan mencukupi jumlah syarat minimal dukungan bagi bakal pasangan calon yang lain.

Aturan Undang-undang tidak membatasi prosentasi maksimal dukungan rekomendasi Parpol, kecuali syarat minimal. Peluang ini dimanfaatkan secara sengaja oleh penguasa tirani politik, dengan cara penguasaan Parpol. Demokrasi secara monopoli dimaknai dan dipraktekan dalam bahasa sistem yang diformalkan dengan aturan yang dikemas, seakan telah mewakili semua kepentingan bersama. Rambu-rambu dan perangkap yang membatasi pihak lain dan menyelamatkan kepentingannya dibuat samar dan malah multi-tafsir, sehingga ada ruang untuk menyekat dan membungkam suara berbeda secara sepihak, dengan pembenaran formal karena termaktub dalam aturan perundang-undangan.

Fenomena menarik terlihat dari “aksi borong” rekomendasi Parpol di pilkada  2017 - tentunya dengan modal besar,  ternyata dilakukan rata-rata oleh bakal calon incumbent. Adapun Parpol yang disisakan, tidak bakal cukup memenuhi prasyarat bagi bakal calon yang lain.

Kotak Kosong tidak “haram” bila simpulnya dimaknai sebagai bentuk kegagalan kepemimpinan pimpinan daerah, bersama dengan “mati rasa” moralitas politik elit Parpol oleh kegagalan fungsi dan peran kaderisasi, regenerasi dan pendidikan politiknya, sehingga tidak mampu menampilkan calon-calon  pemimpin baru sebagai representasi utuh hak politik masyarakat sipil yang makin berkualitas dari pilkada sebelumnya ke pilkada berikutnya.

Rakyat yang memiliki hak untuk dipilih tetapi kehilangan peluang, dan rakyat yang memiliki hak untuk pilih (rights to vote) tetapi tidak berkenaan memilih, sebab hanya 1(satu) pasangan calon, kini tersedia “permen” ruang demokrasi yang silahkan disuarakan aspirasinya melalui “aksi” memilih Kotak Kosong.

Perolehan suara Kotak Kosong 50% +(plus)1, maka pemilihan akan diulang, dengan pengajuan calon-calon lain yang baru. 
Selamat ber - DEMOKRASI !
Depok, 11 Nopember 2016