Alifuru Supamaraina: TRAGEDI KERUSUHAN MALUKU 1999 DALAM PUISI

Friday, January 22, 2016

TRAGEDI KERUSUHAN MALUKU 1999 DALAM PUISI

Oleh ; M. Thaha Pattiha
TRAGEDI KERUSUHAN MALUKU 1999 DALAM PUISI
              Gong Perdamaian Dunia di KM 0 Kota Ambon (Foto Dok.Pribadi/2017)

         Tanggal 19 Januari 1999, 21 tahun yang lalu di Kota Ambon, Provinsi Maluku. Terjadi tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan. Bermula dari perkelahian antara dua orang di Negeri Batu Merah, Kota Ambon. Bertepatan dengan Idul Fitri, hari raya ummat Islam. Dari perkelahian tersebut, berkembang membesar menjadi saling bunuh di antara penduduk sipil.
"Tangan-tangan Setan" ikut memainkan peran demi kepentingan politiknya, dengan mengorbankan masyarakat biasa. Peristiwa yang sebelumnya hanya berlangsung di kota Ambon, kemudian meluas ke seluruh wilayah Kepulauan Maluku. Menjadikan masyarakat terpecah-belah dalam 2(dua) komunitas berdasarkan agama yang dianut. Tragis!

"Perang" antar masyarakat sipil terjadi berlarut-larut tanpa kendali berarti dari pemerintah dan pihak aparat keamanan. Hampir tiga tahun (1999 - 2001) berlangsung, mengakibatkan ribuan orang menjadi korban dan mati sia-sia, harta-benda rusak, hilang lenyap, pengungsian di mana-mana. Tragedi kemanusiaan yang kemudian menjadi berita di seluruh dunia.

 Di pusat kota Ambon (Km 0) dibangun Monumen Peringatan dalam bentuk sebuah Gong berukuran besar dengan nama "Gong Perdamaian Dunia".

Melalui puisi, situasi itu direkam, digambarkan, dan sekaligus sebagai catatan peristiwa, dengan maksud agar mengingatkan setiap Orang Maluku dan siapapun, jangan pernah lagi ada kejadian memilukan dan tolol seperti itu di kemudian hari.

kehidupan tidak pernah berlabuh
akan terus beriak mengikuti gelombang
tapaknya tak pernah terukur waktu
tak juga pernah singgah berlama-lama

hanya kenangan yang bercerita 
ada tidaknya sesuatu yang terungkap
lebih dari sekadar harapan-harapan
karena ada sisi yang saling beda 
pada begitu banyak yang kita pernah kenal

waktu akan dan masih saja kita lalui
sebagian tanpa makna
biarlah menjadi musik tengah malam
agar kita mampu menjemput pagi
dengan langkah-langkah pasti

Jakarta, 7 Juni 2002



DARI CATATAN KOTAKU

hari berbulan-bulan ganti ke tahun
selalu kuhitung dan terus menghitung
belum juga angka terjumlah
belum selesai
maut meradang nyawa-nyawa

bulan ini masih ada korban
lebaran ini setahun halaman-halaman
kematian kutulis, berlembar-lembar kertas
habis dibakar dikoyak seperti berita
kabar, lalu kabur
sedang kematian masih saja terbaca

kubagi ruang tanpa sekat
untuk membaca wajah kotaku
semua telah runtuh

dengan sebatang arang kulukis matahari
siang tak berbeda dengan  matinya hati
dan malam gelap menghadang
pada  rasa takut yang mengerikan,
……………………………………..
aku masih terus mencatat

Jakarta Januari 2000




TRAGEDI (I)
(Sio Amboina)

hamparan kebun cengkih dan pala
kuning gandaria seenak rujak natsepa
hitam manggustang senikmat durian
kusu-kusu, gurih cakalang asar hative
adalah biduk, alam teluk kota pantai

bagai tabir di bibir gelombang
riaknya kini tak tentu batas pulau
sepanjang tahun hanya badai dendam
bersama musim terus memburuk

keringkan daun pala dan kembang cengkeh
menenggelamkan jaring-jaring pelaut
menceburkan kembali mutiara penyelam

tragedi kota renta
sisakan ujung parang dan moncong pipa
tumbal nurani dan mimpi yang tergadai

yang menang hanya benci
kalah menata dendam
amboi


sio, amboina

Jakarta, 1999
"Klik" Iklan untuk DONASI 



TRAGEDI  (II)

( Kepada Merah dan Putih)

ose biking beta balas
ose datang beta sambut
ose hela beta kokang
ose papar beta labrak
ose basa beta lari

(ah, cili kata halia)

Jakarta Januari 1999

Prasasti Kota Laut

rimba beton panggungkan seteru
hutan sampah taburkan pongah
batang arang
menoreh keluh
di tanah datuk ;

jala telah ditebar
di laut keruh
berkarang
kusut dan
sobek
( perlu beratus tahun merapikannya kembali )

Ambon, 7 Oktober 2002


SANG KAPITANG

dari tugu trikora jalan a m sangaji
ia berlari menyongsong maut
parang dan salawaku bersilang di dada
satu nyawa menantang pasukan manusia
beta kapitang alifuru
siapa berani, maju !

dari gang sempit pertokoan, menyalak
senjata rakitan
dua butir peluru menembus dadanya
roboh, lalu diam

Ambon 1999
                             
TELAH ROBEK SELIMUT GANDONG

 telah robek selimut gandong
tercampak di dulang patita
menggantung satu-satu di pagar salele
helai –helai kain dibuat sumbu
benangnya jadi pemicu hari
hari membosankan dan panjang

telah robek selimut gandong
ketika pagi menapak senja
hambar sudah sepotong sagu lengpeng
dalam liarnya mainan bola mata
bahkan jantung kadang tak lagi
mengalirkan kehidupan
karena bayang-bayang sekarat

telah robek selimut gandong
dawai pemakaman telah berdenting
sendiri mengiring sunyi kesendirian
oleh airmata basudara tanpa raga

telah robek selimut gandong
air mata di malam nan merana
akankah mengalirkan dendam anak beranak

telah robek selimut gandong
telah dijadikan ikat kepala
warna warni

Jakarta Januari 1999


           
MARAH PUTIH MERAH MARAH


suara suara suara
mereka terus berteriak
lantang lalu menusuk
sebuah hati semua jantung
lunglai terkapar ke tanah

telanjang tubuh tubuh
saling cabik lain merebut
balada mesum di kamar cakrawala
tertawa-tawa sahut sahutan

desis nyawa meradang
 perang berperang sesama

mata dan bibir siapa
peduli siapa pula
api terus menyala di ufuk
mau berhenti belum selesai
ini tanah bersumpah darah
merah karena marah
putih merah tanah memerah

Jakarta Oktober 2000



                
TENTANG MAKNA KEMATIAN

(kepada para korban kerusuhan Maluku)

tubuh itu telah terbujur diam
di badan jalan medan sengketa
siapa dia ia masih muda
ini bukan korban penghabisan
mestikah berapa lagi
hingga selesai hitungan tumbalmu

di tanah ini semua
adalah pesakitan untuk dikoyak,  dalam
selubung makna rahasia
semu,  tapi terencana

kematian adalah keniscayaan
kematian adalah milik  Tuhan-mu
kematian adalah upacara sakral
tidak untuk sesa’at
tidak untuk apapun
oleh siapapun

Jakarta Desember 2000
  
           

ODE BUAT SAHABAT

( kepada almarhum Ali Tuanaya)

rumah dan kamar ini telah lama
tertinggal sepi berdebu
sunyi dari suara perbincangan malam
saat siang pun tak tentu kapan
karena janji hanya terhubung
pada sinar lampu di jendela kamar
telah kita urai ragam kemunafikan
seisi perut negeri ini

bukit kecil kampung airsalobar
tidak juga menjadi datar karena suara kita
meski telah ditimbun bartahun tahun
dengan abu rokokmu yang tak pernah
dibuang di asbak

tahun ini aku ke makammu membaca kisah
sambil menyaksikan kehancuran kota kita

Ambon Desember 2000






Di Plaza Kota


malam-malam lamunkan kota
kubidik panah masa masa lalu
dengan membanding sempitnya ruang main

kota hanya seputar pandang
di ujung tanah
ada barikade terbidik
menjaga pasar yang buka siang malam
mengobral asa tanpa label
tanpa kemasan

Ambon, 2001





Ini Kota Milik Siapa


kota ini telah dikaramkan  siapa
jadi sebongkah tragedi ilusi dan mimpi
jiwa-jiwa dipasung bagai ikan asin
dibelah dari kepala hingga ekor
digarami dikeringkan matahari
diberaki lalat
tetapi dirasa enak dan gurih

entah siapa
mereka di kota ini
mereka menabur dengki dalam gelap
lalu bertanya-tanya di ujung jalan
setelah ini kemana lagi
menjemput sasaran berikutnya

kota ini sengaja dimusnahkan
untuk ladang perburuan ragam ambisi
menjadi padang main
binatang liar warna-warni

yang hitam bisa putih
birupun meniru warna laut
pada mata siapa memandangnya
hanya daftar perburuan yang terbaca

Ambon, desember 2001

-- 0 --

No comments:

Post a Comment