Alifuru Supamaraina: November 2015

Saturday, November 28, 2015

WWF celebrates community-based marine conservation

All life on Earth depends on a healthy ocean. Billions of us rely on it for food, livelihoods and regulation of the climate, however, unsustainable practices are pushing our ocean systems to the point of collapse.







WWF celebrates community-based marine conservation

Wednesday, November 25, 2015

Kapitang Besar (Pimpinan) dan Pembantunya, dalam tata busana asli suku-bangsa Alifuru.

Kapitang Besar (Pimpinan) dan Pembantunya, dalam tata busana asli suku-bangsa Alifuru.
                                                                                                                                                                                                                                                                      Kapitang Besar (Kapitano Ela'o) Bangsa ALIFURU(Ilustrasi) / Foto ; Istimewa

ALIFURU DALAM SEJARAH

ALIFURU DALAM SEJARAH
Alifuru dalam sejarah

          Sejarah merupakan peristiwa masa sebelum saat sejarah itu ditulis dan adalah kumpulan catatan perjalanan masa tentang sesuatu, sesorang, suatu kaum atau suku-bangsa. Intinya masa lalu yang diingat, diketahui kemudian diceritakan kembali melalui tutur-cerita lisan atau pun tulisan. Ketika bercerita atau menulis, sesorang cenderung terbawa emosi larut bertutur bisa secara jujur, tapi mungkin juga berbohong atau asal dan mungkin membias karena sudah didramatisir, sebagaimana juga dengan sejarah tentang suku-bangsa Alifuru.

Pemaparan tentang sejarah suatu kejadian di kurun waktu sebelumnya terkadang mengalami distorsi atau pengaruh kepentingan baik oleh pengungkap, sumber, juga peruntukan kepentingan siapa dan untuk apa. Apalagi bila data dokumentasi acuannya tersembunyi atau tidak tersedia,  menghasilkan pengungkapan sejarah yang multi tafsir dan menimbulkan keraguan. Sangat mungkin dipertanyakan kejujuran apalagi kebenarannya.

Secara teori, sejarah ditafsirkan sebagai gambaran lengkap dan detail mengenai peristiwa disuatu waktu dan ruang keberadaan manusia atau tentang sesuatu selain manusia. Begitupun dalam sistem pendataan sejarah dikenal dua jenis data. “Pertama, data tentang rekaman peristiwa di dalam suatu masa, yang memuat tindakan para aktor yang adalah elite dalam sistem sosial di masa lampau. Data ini berbentuk laporan-laporan atau arsip, dokumentasi, dan bangunan (yang lebih banyak menjadi fokus arkeologi). Kedua, hasil penafsiran suatu peristiwa sejarah, yang disusun oleh orang-orang lain di masa kemudian, sebagai suatu bentuk tela’ah kritis terhadap jenis data pertama. Data jenis kedua ini pun terbagi menjadi dua, yaitu penafsiran ‘komunitas penulis sejarah’ yang cenderung bertendensi politis, dan penafsiran kritikus yang melihat adanya sisi-sisi tertentu yang terabaikan, atau adanya ketimpangan didalam rangkaian sejarah itu, dsb – dipertanyakan mengapa tindakan orang-orang lokal tidak terekam sebagai event yang penting dalam sejarah. Bahwa manusia adalah produk dari sejarah itu sendiri, dan memiliki eksistensi historis, artinya memiliki relasi setara antara dirinya dengan orang lain di tengah lingkungan keberadaannya itu (zitz im leben). Idealnya bahwa penceritaan sejarah harus memandang setiap pelaku sejarah sebagai orang-orang yang sejajar, memiliki peran yang sama-sama penting dalam bingkai sejarah” ( Elifas Tomix  Maspaitella,  Jejak Cina di Maluku. Blog, diposkan Julia Soplanit dan edit oleh Penulis)

Suku-bangsa Alifuru diakui keberadaannya sebagai penduduk asli kepulauan Maluku dengan pemukiman awal berpusat di pulau Seram, pulau terbesar di antara hampir seribu buah pulau  dalam gugus kepulauan Maluku. Menurut beberapa  Antropolog, a.l.;  A.H. Keano,  pulau Seram dari dahulu telah didiami oleh suatu suku bangsa yaitu bangsa “Aliforos”.

Bangsa ini berasal dari campuran antara Kaukus Mongol dan bangsa Papua.  Oleh  Antropolog F.J.P. Sache dan dr O.D. Tauern mereka berpendapat bahwa suku Alifuros Alune (ada juga Wemale ; Bloger) yang mendiami bagian barat pulau Seram, berasal dari bagian utara yaitu kemungkinan berasal dari Sulawesi bagian utara atau Halmahera, sebab di pulau Halmahera juga terdapat suku Aliforos.

Pencapaian hasil penelitian para Antropolog tersebut patut di hargai, tapi dipertanyakan untuk bagian tengah dan timur pulau Seram, karena hanya berpusat di bagian barat. Sehingga terkesan terbaca miring bila melihat titik-titik penyebaran komunitas suku-bangsa Alifuru khususnya di pulau Seram, yang disebut dengan Nusa Ina. Belum lagi bila acuan berdasarkan sejarah-tutur atau pengumpulan data dan informasi hanya secara lisan dari masyarakat suku-bangsa Alifuru yang menjadi objek penelitian yang berpusat di wilayah barat pulau. Dapat diterima agar kita dapat meyakini kebenaran sejarah yang di tulis. bila ada bukti nyata melalui penemuan data lapangan berupa situs atau tanda di alam misalnya perkakas/alat perlengkapan untuk berkebun, berburu, menangkap ikan, maupun tulisan atau mungkin gambar di dinding batu. 

Bahwa kemudian hasil penelitian tersebut mewakili  sejarah awal atau  mula asal-muasal suku-bangsa Alifuru  dari tempat bernama Nunusaku dengan tiga batang air, Eti - Tala - Sapalewa, yang mencakup hanya seperempat dari luas pulau Seram ? Atau karena adanya data dokumenter dari bangsa Belanda yang waktu itu bisanya hanya dapat menundukkan dan menguasai suku-bangsa Alifuru di Seram bagian  barat dan berhasil mengacak-acak sistem tata nilai dan tata pemerintahan dan mencukur habis para Kapitang penguasa petuanan (wilayah kekuasaan/kepemilikan) lalu diganti dengan para penguasa boneka Belanda, misal di Eti, juga Kaibobo – yang terakhir ini hilang dari catatan Belanda, pasti.  

Sangat dipertanyakan penelitian para Antropolog hanya cenderung berpusat di wilayah bagian barat pulau Seram, tidak dilakukan penelitian secara keseluruhan pulau Seram – bagian tengah sampai timur dan kepulauan Seram Laut, bahkan lebih luas ke seluruh kepulauan di Maluku sampai di bagian Tenggara jauh, bahkan mungkin termasuk kepulauan Nusa Tenggara bagian timur. Sebagai anak suku-bangsa Alifuru kami berterimakasih kepada mereka para Antropolog, akan tetapi menyayangkan bahwa sejarah Alifuru yang ditulis tidak mewakili secara utuh Sejarah suku-bangsa Alifuru, yang adalah penduduk asli gugusan kepulauan yang sekarang menjadi bagian wilayah negara Indonesia yaitu Provinsi Maluku – Maluku Utara.

Selain itu mentelusur sejarah awal suku-bangsa Alifuru melalui sumber penulisan yang dilakukan bangsa asing seperti China. China mungkin dianggap salah satu bangsa yang cukup tua dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tulisan maupun teknologi armada pelayaran samudera. Bisa saja bangsa China yang paling awal berada di kepulauan Alifuru - Maluku. Terdapat bukti kebendaan berupa alat perlengkapan makan-minum  berbahan keramik seperti piring, mangkuk, kendi dan tempayan air, made in para Dinasti Kekaisaran bangsa China awal abad Masehi bahkan sebelum Masehi, banyak ditemukan di pulau Seram dikalangan keluarga Alifuru dan juga pecahan-pecahan yang sudah menjadi beling pun dapat jumpai tersebar di kawasan dusun atau hutan, pesisir pantai dan  pedalaman pulau Seram. Dalam hajatan upacara adat suku, perkawinan, pada pelantikan  Raja secara adat Alifuruperalatan seperti piring atau pina, keramik antiq buatan bangsa China tersebut menjadi alat wajib digunakan atau disediakan, paling tidak sebagai tatakan mensuguhkan Sirih Pinang. Hal kebiasaan yang merata di semua orang suku-bangsa Alifuru sejak dahulu dan hingga sekarang pun masih seperti itu, sayangnya sekarang ini piring keramik antiqnya sudah banyak yang lenyap. 

Tentang bangsa China ditemukan keterangan bahwa pada abad ke-14 atau tahun 1421 Masehi, saat  Kaisar Zhu Di berkuasa,  Zhu Di telah memerintahkan armada laut China untuk melakukan ekspedisi untuk menguasai kembali alur laut pelayaran di Asia Tengah dari bangsa Arab sekaligus mengulang alur pelayaran dagang yang pernah dilakukan dan didominasi sebelumnya pada abad ke-9 di saat masa Dinasti Tang. (Menzies, Gavin, 1421 Saat China Menemukan Dunia, [terj. Tufel Najib Msyadad], Jakarta: Pusat Alvabet, September 2006). Disini tidak ada keterangan lengkap yang mengisahkan tentang keberadaan dan kehidupan sosial, kecuali kegiatan ekonomi dari para penghuni kepulauan Maluku, yang rempah-rempahnya menjadi bagian dari muatan komoditi dagang armada tersebutPada sumber lain yaitu  Peta Rotz  yang mengungkap alur pelayaran armada China menuju ke Pulau Rempah-rempah, peta yang juga digunakan pelaut Spanyol Magellan berlayar akhirnya menemukan Maluku, yaitu peta yang digambar oleh kartografer di atas armada kapal Zhou Man, hanya  untuk menentukan posisi kepulauan rempah-rempah dalam alur pelayaran dari China ke benua bangsa Aborigin di selatan dan kembali ke China.   

Demikian juga sebagaimana yang dikutip oleh Menzies, dalam salah satu dokumen dari Ma Huan, hanya menceciterakan tentang cara bertransaksi yang dilakukan secara barter dengan masyarakat Alifuru setempat. Atau sama dengan Des Alwi yang menyebut bahwa hasil penelitian Universitas Brown, Amerika Serikat dengan Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira dan Universitas Pattimura pada 1996-1998, bahwa: kira - kira 900 sampai 1.000 tahun yang lalu kapal-kapal China sudah berdagang di Banda karena ditemukan pecahan piring-piring zaman Dinasti Ming dan juga pecahan kendi-kendi, tempayan dari tanah liat yang dibuat oleh orang Banda pada zaman Pra Islam abad ke-9. Begitu pula jauh waktu sebelumnya di masa kekuasaan dinasti Tan (618 – 907 M) telah dikenal rempah-rempah sebagai pengharum mulut, tapi tidak ada penjelasan jenis rempah-rempah apa. Bahkan masa-masa sebelum dan awal abad sesudah Masehi banyak data informasi dan cerita tentang rempah-rempah, yang diindikasikan antara lain adalah cengkih.

Era tulisan yang mencantumkan keberadaan kepulauan Maluku– bukan nama kepulauan Alifuru,  dengan bermacam sebutan terhadap “nama Maluku”, sekadar mengungkap nama wilayah dalam posisi geografis  yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam rempah-rempah cengkih dan pala. Bermula saat bangsa Arab, juga India-Gujarat, dengan jalan dagang yang hadir melalui jalur sutra-jalur perniagaan  darat tertua di daratan benua Asia yang juga melalui China, bangsa Arab sampai di kepulauan Alifuru, kemudian menyusul bangsa Eropa yang kemudian menjadi bangsa Penjajahtidak saja di Maluku tetapi seluruh kepulauan di Nusantara.

Antara bangsa Arab dan Eropa selain misi perniagaan juga hadir dengan misi menyebarkan keyakinan terhadap Ketuhanan, bangsa Arab dengan agama Islam dan Eropa dengan agama Kristen Khatolik dan Protestan. Kehadiran kedua bangsa ini hanya berbeda beberapa abad.

Bangsa Arab diperkirakan ada pada abad ke -9, sebagian sejarawan mengatakan pada abad ke-13, sedangkan bangsa Eropa datang pada awal abad ke-16. Sejak itulah kepentingan ekonomi dan misi agama      di bumi Alifuru menjadi terdokumentasikan dalam tulisan, baik berbahasa arab, berbahasa melayu berabjad arab – arab gundul, dan berbahasa Portogis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Sedangkan keberadaan masyarakat bangsa pribumi Alifuru – tidak jelas menyebutkan istilah Alifuru, hanya semacam catatan pinggir yang diselip untuk dikatakan hampir tidak ada sema-sekali, yang ada hanya berupa catatan tentang para Raja-raja yang menjadi teman misi atau catatan para musuh yang menentang.

Sejarah Alifuru memang sulit dibuktikan keberadaannya secara benar melalui data dokumenter berbasis tulisan, bila dibaca seperti yang terungkap melalui beberapa kepustakaan yang diungkap  kembali belakangan ini di media cetak atau online. Hampir semua informasi yang diungkap dan ditulis dapat disimpulkan semua bermula disaat kedatangan bangsa-bangsa asing, China, Arab dan Eropa. Selain itu yang hampir tidak ada adalah sumber dari keberadaan Kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, masa sebelum kedatangan bangsa-bangsa asing.

Beberapa catatan dan tulisan di media masa – selain dari para Antropolog, yang mengungkap sejarah suku-bangsa Alifuru, hampir semuanya sulit untuk dikatakan telah dapat mengungkap secara detail dan benar, apalagi dibilang jujur. Selain tidak didukung bukti dan data yang  memang sangat sulit ditemukan, juga cenderung bias dan memuat kepentingan penulis juga penutur sumber sejarah. Apalagi sumber data seperti situs, prasasti, alat atau perabotan, apalagi dokumen tertulis tidak ditemui atau tidak diungkap samasekali dalam mengungkap jejak keberadaan awal suku-bangsa Alifuru. Kecuali tanda atau tempat di alam seperti batu, gunung, bukit dan lembah,  kali, area – dusun, dan hutan yang menjadi titik mula berkisah tutur secara lisan oleh siapapun sumber sejarahnya, belum lagi diperparah dan menjadi rancu oleh siapa saja sekarang ini yang merasa  atau mengaku anak keturunan suku-bangsa Alifuru bisa bercerita dan bertutur, menurut versi atau sudut pandang dan kepentingan masing-masing.  

Berpedoman pada ciri-ciri bentuk fisik dan adat kebiasaan kehidupan sosial yang terlihat secara kasat mata, antara lain memiliki kulit gelaprambut ikalkerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletisMaka suku-bangsa Alifuru terlihat sangat berbeda dengan suku-bangsa lain di Indonesia, kecuali seperti suku Timor di kepulaun Nusa Tenggara bagian Timur. Adapun terlihat kesamaan  dengan suku-bangsa di kepulauan Samudera Pasifik  seperti orang Fiji, Tonga, Tahiti, Hawai dan sekitarnya. Mungkin saja ada keterkaitan, sehingga dalam mengungkap tentang sejarah Alifuru di kepulauan Maluku mendapatkan data tambahan dari lain tempat sebagai pembenaran faktual era sejarah kehidupan suku-bangsa Alifuru yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.   

Masyarakat Alifuru hingga kini masih kental pemahaman adat kebiasaan,  khususnya bahasa yang hingga hari ini masih berkomunikasi dengan bahasa anak suku Alifuru di masing-masing wilayahnya, khususnya di pulau Seram. Dengan mentelusur melalui perbendaharaan bahasa-bahasa, dapat saja memahami dan menafsirkan sejarah tutur yang masih terpelihara. Dimana pada suku-bangsa Alifuru, khususnya di pulau Seram – yang dikatakan sebagai awal mula dan sumber manusia Alifuru di Maluku, masih terpelihara  dan memiliki kekayaan bahasa yang sangat beragam tetapi terdapat sebagian kesamaan kosakata dan yang membedakan adalah aksen atau nada, tekanan ucap dan imbuhan pada akhiran atau awalan kata.
 Namun apabila menggunakan alur penelusuran melalui bahasa, maka bukan bahasa komunikasi sehari-hari yang dijadikan rujukan penelitian tetapi yang disebut Bahasa Tana(h) = Kapatah = Talili - istilah Alifuru Tunlutih, yaitu bahasa tutur yang bukan bahasa komunikasi dan tidak dapat dipercakapkan, hanya  diucapkan sepihak atau satu arah oleh satu orang. Bahasa ini “sebagian” masih hidup dan terpelihara dengan baik di mata-rumah/rumah tau-uma-tau/marga tertentu khususnya keluarga keturunan Raja, Kapitan dan Saneri Negeri.

Bahwa bahasa tana(h) dalam penggunaannya memakai istilah-istilah dalam setiap kosa kata yang tidak umum digunakan dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi dipakai untuk menandai dan mengungkapkan satu peristiwa atau menandai sesuatu, baik tempat, orang, benda atau era di masa lalu.  Kekayaan informasi yang termuat dalam perbendaharaan tutur bahasa tana suku-bangsa Alifuru, dapat dikatakan merupakan pencapaian luar biasa kemajuan pengetahuan melalui penciptaan bahasa tana (bahasa lisan) menggantikan bahasa tulis, sebagaimana bangsa lain.

Hal tersebut di atas, menunjukan bahwa titik fokus penulusuran sejarah suku-bangsa Alifuru intinya bersumber dari sejarah tutur atau bukti dalam bahasa lisan – bahasa tana, merupakan rana tersedia  adanya, selain terus mencari lagi sumber baru dan di lain tempat di luar Maluku. Agar anak-cucu Alifuru hari ini dan akan datang dapat terpenuhi pengetahuan secara baik sejarah tentang asal-usul suku-bangsanya dan lebih jauh tentu untuk mengenali jati diri, mengetahui identitas pribadi, keluarga dan posisi suku-bangsa Alifuru dalam dokumentasi perjalanan sejarah Indonesia maupun sejarah dunia.

Sejarah suku-bangsa Alifuru saat masih seperti dongeng menjelang tidur, cenderung tergerus zaman dan bisa saja terlupakan. Hal kemudian dapat memunculkan versi sepihak dan pembenaran terhadap pengaburan sejarah yang disengaja oleh para pihak yang sejatinya bukan berasal dari garis vertikal darah keturunan suku-bangsa Alifuru. 
Demikian. 

‘Aupuluu, naa'a sosopam, naa'a kokokum
Ayo bersama peduli Alifuru.
                                                                                                                                                                            
Depok, 30 April 2013

                 M. Thaha Pattiiha /
(Lele’e  Iha-Tehuayo )

Catatan ; Tulisan ini semata ungkapan pemikiran  pribadi penulis, dilengkapi berbagai sumber tulisan dan kepustakaan sebagai referensi yang tentunya masih ada kekurangan. Akan tetapi dengan kebersamaan, berpikir jernih, mengungkap bijak tanggapan dan wawasan dalam ruang diskusi yang beretika, cerdas, positif, bermanfaat, bermaksud saling menata pengetahuan, menjadikan segalanya damai dan  indah. ( Tulisan ini kembali sengaja beta muat ulang, tanpa perubahan dari sebelumnya )    

Tuesday, November 24, 2015

BAILEU ; Rumah Adat Suku-bangsa Alifuru

Penjelasan lengkap tetang Rumah Adat Baileu, baca ;

Musyawarah Besar Masyarakat Maluku (MUBES MAMA)

Oleh : M. Thaha Pattiiha
Musyawarah Besar Masyarakat Maluku (Mubes Mama)
                   Musyawarah Besar Masyarakat Maluku (Mubes Mama)                   

Sio...Maluku !
(Sirih-Pinang ; MUBES Masyarakat Maluku/M3)

           Musyawarah Besar (MUBES) Masyarakat Maluku, kabar ceritanya diketahui dari pidato non formal Gubernur Maluku Drs. Said Assagaff pada malam acara Budaya(Musik-plus) Maluku yang ditayang secara live di Stasiun TVRI Pusat Jakarta, tanggal 15 September 2015. Dikatakan pidato non formal sebab hanya bagian selipan dari rangkaian acara dimaksud, yang dihadiri para Petinggi di pemerintahan Provinsi Maluku, yang datang dari Amboke Jakarta sepertinya hanya untuk acara itu dan juga terlihat sedikit Orang Maluku yang berkediaman di Jakarta dan sekitarnya. 

Tempat pelaksanaan MUBES, apa di Jakarta atau di Ambon, “nanti kong” – bukan itu masalahnya, karena yang perlu adalah bahwa akan diselenggarakan pertemuan dengan nama yang mencerminkan sebuah hajatan besar dan tentu diluar dari biasanya ; Musyawarah Besar (MUBESMasyarakat Maluku. Kabar baik, tetapi apakah itu menggembirakan seanteru komunitas Orang Maluku ? Entahlah, nanti katong lia. Selain masih samar apa yang hendak dibicarakan dan dicapai dalam pertemuan tersebut, yang pasti bertujuan baik tetapi tentu bukan tujuan akhir. Perantara, semacam jembatan untuk menghubungkan dua, tiga atau lebih kutub, menyatukannya dalam satu pemikiran dan pendapat menjadi suatu langkah bersama perjalanan meraih cita-cita, hingga menggapai tujuan.

Ketika beta menunggu dari Gubernur Maluku pada saat menyampaikan pidato sambutan acara malam pembukaan even besar PESPARAWI Tingkat Nasional ke-11, tanggal 6 Oktober 2015 di kota Ambon,  berharap ada sedikit menyinggung maksud akan diselenggarakan MUBES dimaksud, dan serta kepentingan akan kebutuhan pembangunan Maluku khususnya untuk rencana besar Maluku dijadikan Lumbung Ikan Nasional. Ternyata tidak ada. Hanya  “blok Masela”, sedikit disinggung. Kesempatan berpidato di hadapan Presiden RI Ir. Joko Widodo dan sebagian anggota Kabinetnya, juga DPR-RI dan DPD-RI,  dapat menyelipkan pesan singkat setidaknya sebagai pemberitahuan awal kepada pemerintah pusat,  dan khalayak ramai, khususnya lagi masyarakat Maluku yang sedang menyaksikan acara pembukaan tersebut. Acara hebat ini disiarkan langsung oleh TVRI Pusat ke seluruh Indonesia dan dunia, dihadiri selain oleh Presiden RI dan pejabat tinggi negara, juga pejabat daerah se-Indonesia serta lebih dari 7000-an peserta maupun ribuan peserta penggembira lainnya, disaksikan jutaan pasang mata melalui layar televisi. Memang acara tersebut adalah kegiatan religius, tetapi adalah program nasional di bidang keagamaan yang multi guna, selipan pesan beraroma politis demi kepentingan pembangunan daerah sebagai keinginan dan tuntutan masyarakat banyak, tidak diharamkan. Momentum berharga yang bernilai jual tinggi dan publikasi luas, sayang dilewatkan begitu saja.

Membaca pikiran yang mungkin berkembang dari niat mengadakan MUBES, beta mencoba masuk lebih jauh ke dalam rana yang entah mungkin benar, bisa juga rekaan belaka. Karena seperti apa nantinya dan yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah daerah Maluku, dan mungkin Orang Maluku lain yang dilibatkan, secara pribadi pasti beta seng maso hitong. Tetapi sejatinya, sebagai orang Maluku tentu bertanya-tanya apa maksud dan tujuan serta seperti apa penyelenggaraannya. Kenapa harus diinisiasi oleh pemerintah daerah Maluku dan sepertinya mungkin tempatnya di Jakarta. Biasanya untuk hajatan  seperti ini diselenggarakan oleh komunitas atau lembaga non pemerintah, melalui pengorganisasian yang sifat dan kelembagaannya dari dan oleh masyarakat - se daerah, bukan lembaga formal seperti pemerintah. Pemerintah – sekalipun daerah, telah memiliki struktur serta sistem bersifat baku, memiliki program, mengenai tata kelola pemerintahan, dan ada dana. Sesungguhnya diperuntukan semata – bukan dua mata, demi mengurus kepentingan masyarakat.

Tidak ingin menduga-duga, akan tetapi berpikir dan bersikap positif menyambut sekaligus  menyatakan dukungan, bahwa memang sangat perlu hajatan sedemikian diselenggarakan oleh khususnya segenap komponen masyarakat Maluku, siapapun statusnya. Perlu dipertemukan dalam suatu momen pertemuan yang ditata secara baik, terkordinasi dalam wadah yang diorganisir secara profesional, sehingga maksimal pencapaian hasilnya.

Sebelum ini, dalam beberapa kesempatan bersama teman-teman aktifis pemuda dan umumnya orang-orang Maluku, baik di Maluku maupun di Jakarta, beta sering mendapatkan perbincangan yang intinya mengungkapkan rasa ketidakpuasan dengan pernyataan mempertanyakan kenyataan hidup yang dialami orang Maluku umumnya, dan lebih khusus masyarakat di Maluku. Ini bukti kepedulian, ingin sangat melihat Maluku lebih baik dalam berbagai hal, dengan kesejahteraan dan kemakmuran hidup masyarakatnya yang paling utama, karena itu tujuan akhir.

Adanya rencana hajatan Musyawarah Besar, pantas saja bila aura “protektif” sudi dikemukakan,  alasannya karena tanpa proteksi yang berarti, orang Maluku – penduduk asli, akan masih termarjinalkan secara struktur sosial, ekonomi, hingga budaya – adat istiadat, serta sejarah. Jangan berprasangka berlebihan atas pikiran sedemikian, memang ini hal serius namun bukan sesuatu yang tabuh untuk diungkap, tujuannya demi kebaikan bersama dan kenyamanan hidup bersama semua orang di Maluku. Menghindari jangan sampai terjadi,  Orang Maluku “hanya penonton, bahkan orang asing di negeri sendiri – Maluku, dan atau bisanya hanya “Satpam” di negeri(daerah)orang.

Menyebut  “Masyarakat Maluku” atau “Orang Maluku” – selanjutnya dipakai dalam tulisan, memang memiliki spesifikasi maksud dan tujuan berbeda tentunya. Masyarakat Maluku,  untuk tujuan menyebut segenap penduduk yang berkediaman di wilayah kepulauan Maluku saat ini, yang telah terdiri dari beragam suku-bangsa, baik dari dalam negara Indonesia(NKRI) maupun dari keturunan bangsa lain. Menyebut Orang Maluku, untuk menegaskan maksud struktur identitas khususnya masyarakat penduduk asli atau etnis awal kepulauan Maluku. Hal ini tidak berarti bertujuan membuat sekat atau pemisahan, yang harus sampai dipandang mengerikan dan berbahaya. Maksudnya, dengan mengungkap jati diri berdasarkan asal-muasal keturunan pada suatu tempat adalah sebagai keterangan atas identitas yang sah yang sekaligus menggambarkan keaslian dan kepemilikan terhadap wilayah tersebut,  dan merupakan hal wajar yang tidak bisa atau sengaja diabaikan, apalagi dengan sengaja dilupakan atau hendak dihilangkan.  

Bisa saja akan timbul pemikiran  curiga, yang dikhawatirkan menimbulkan masalah berupa sentimen kedaerahan, tetapi itu bukan berarti kiamat bagi yang bukan penduduk atau anak(asli) daerah.  Karena dengan begitu, kita bisa saling memposisikan diri sebagaimana adanya dan semestinya, dengan selalu saling hormat-menghormati berdasarkan pengetahuan historis atas identitas serta budaya masing-masing di mana pun kita berada.  Sehingga secara positif kehidupan bisa dijalani bersama tanpa menimbulkan masalah berarti di kemudian hari, khususnya yang saat ini bermukim di daerah Maluku.

Maluku adalah wilayah terbuka dan silahkan siapapun dari manapun boleh datang, tinggal, dan menjalani kehidupannya hingga kapanpun. Demikian juga masyarakat penduduk asli, yang ber-etnis suku-bangsa Alifuru, sejak dahulu kala sudah sangat terbuka dan bersikap ramah menerima kehadiran orang dari luar kepulauan Maluku, apalagi telah menjadi satu bagian dari  wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Orang Maluku telah ikut berjuang mengusir penjajah hingga bersama memerdekakan bangsa dan membentuk negara ini – Indonesia. Hingga 70 tahun negara ini  sejak diproklamirkan dan berdiri menjadi negara merdeka, kemudian melakukan pembangunan, daerah Maluku juga ikut dibangun. Hanya saja masih dipandang dan dirasakan, betapa Maluku dalam pembagian porsi “sagu lempeng pembangunan”, masih belum cukup membuat kenyang Orang Maluku.

Maluku – termasuk juga Maluku Utara,  adalah wilayah yang paling luas rentang geografinya dalam wilayah NKRI. Daerah seribu pulau yang memiliki laut terluas, dan laut sebagai jembatan penghubung antar pulau, baik pulau  maupun pulau kecil. Memiliki jumlah penduduk sangat sedikit, bila dibandingkan dengan penduduk wilayah lain di Indonesia. Memiliki potensi besar Sumber Daya Alam (SDA) melimpah dan bernilai, di darat dan di laut. Kepulauan Maluku merupakan gerbang  yang membuka dunia lebih lebar seluas planet bumi yang semestinya, hingga kemudian saling mengenal potensi tersedia di muka bumi, bahkan hingga membuktikan bahwa bumi ini bentuknya bulat. Maluku adalah awal mula peradaban manusia berkembang secara global. Indonesia pun menjadi sebuah negara seperti saat ini, itu karena Maluku.

Pernyataan ini bukan tanpa alasan dan bukti. Pada rangkaian tulisan beta, terdapat satu bagian yang membahas tentang hal itu dari sejumlah catatan permasalahan, yang akan disampaikan alasan dan bukti yang menerangkan kebenaran pernyataan dimaksud, karena pada tulisan ini sekadar sirih-pinang atau pendahuluan.

Rangkaian tulisan ini adalah sebagai bentuk partisipasi, ikut serta menyumbang ide dan pemikiran sebatas pengetahuan yang dimiliki. Beta berusaha bisa merangkum dan mengurai hal-hal yang dianggap merupakan peluang dan hambatan, tetapi juga tantangan, yang tentu menjadi entri poin  melihat dan menyikapi permasalahan Maluku saat ini. Setidaknya menjadi masukan untuk dapat dijadikan bahasan MUBES dan menemukan solusi sebagai langka melakukan tindakan nyata dan menjadi peluang positif menuju penyejahteraan masyarakat - Orang Maluku.

Tulisan ini, semata pernyataan kejujuran sebagai orang(anak) Maluku, akan berbagai hal yang memang harus diungkap dan pertanyakan secara tulus dan dimintakan keseriusan para pihak agar dilakukan.
Beta mengamati, membaca, mempelajari, menganalisa, menyimpulkan dan mencatat beberapa hal yang  sama-sama “istimewa”, menggambarkan Permasalahan Maluku.

Setidaknya terdapat 10(sepuluh) hal, yaitu ; Mengabaikan atau tidak dimanfaatkan secara baik kontribusi Maluku dalam catatan sejarah perkembangan, perubahan dan kemajuan masyarakat dunia dan khususnya negara Indonesia, Potensi SDA yang melimpah tetapi tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat, Hak ekonomi dan politik Orang Maluku yang tergerus ke rana penonton dan menjadi pelengkap penderita, Program Transmigrasi yang tidak berdampak lebih baik terhadap perubahan ekonomi dan sosial masyarakat asli di Maluku, Masih saja issu RMS yang selalu bergaung setiap tahun yang menjadi komoditi politis berbagai pihak padahal intinya adalah permasalahan kesejahteraan.  Selanjutnya,  Keberadaan adat dan agama yang sering dimanfaatkan demi kepentingan politik dan kehilangan makna bijak dan kearifannya dalam konteks kehidupan persaudaraan Orang Maluku, Polemik tidak berkesudahan terhadap catatan dan penulisan sejarah Maluku, Eufhoria pemekaran wilayah daerah otonom yang kehilangan makna positifnya, Premanisme Orang Maluku di Jabodetabek, serta Kesenjangan APBD dan korupsi yang tidak juga berhenti.


Hal-hal tersebut di atas yang dianggap berpotensi sebagai bagian dari permasalahan Maluku hari ini dan masa depan. Di sadari benar bahwa, bukan berarti semuanya benar atau sebaliknya, tetapi sebagai alas bahan  renungan dan silakan diperbincangkan, didiskusi sebab-musababnya, dicarikan solusinya, untuk kemudian dilakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.  

Boleh jadi berlebihan hal yang diungkapkan atau sebaliknya belum semua tercakup sebagai permasalahan,  atau ada hal yang mungkin dianggap sensitif dan tabuh karena berpotensi menimbulkan ketersinggungan dengan pihak lain.  Silahkan berpendapat. Sejatinya  menyatakan apa adanya rekaman atas kenyataan yang terjadi, dialami, dilihat dan dirasakan sebagai dan oleh Orang Maluku, adalah hak. Terbukti Maluku masih bertengger pada level terbawa grafik data statistik kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Ini bukanlah musibah, tetapi bencana dan tentu menimbulkan ketersinggungan terhadap kehormatan diri selaku Orang Maluku, maka berkata jujur, dan mempertanyakannya menjadi bukan pilihan untuk disuarakan.

Boleh saja yang perlu dipertanyakan adalah sudah optimal kah pelaksanaan tanggung jawab kepemimpinan para pemimpin di daerah, dan  sudah maksimal kah kinerja aparat pemerintahan daerah di Maluku,  mulai dari level Gubernur dan jajarannya hingga yang paling bawah yaitu Kepala Soa, bahkan Marinyo. Sudah adilkah pembagian porsi pembangunan oleh pemerintah pusat, dan  seperti apa kekuatan daya tawar Maluku untuk memudahkan serta memuluskan akses terhadap politik anggaran pada Pemerintah Pusat. Lalu, seperti apa kontribusi masyarakat,  termasuk Orang Maluku di luar Maluku, terhadap upaya percepatan pembangunan Maluku saat ini.

Tanggung jawab dan katakanlah “kesalahan”, apakah ini menjadi urusan dan beban Pemerintah Daerah Maluku, Pemerintah Pusat saja, atau seharusnya menjadi urusan dan tanggung jawab bersama semua Orang Maluku ?

Mari berbenah bersama, sebab Maluku hari ini bagaikan “kucing mati kelaparan di tagalaya”- kematian sia-sia di lumbung ikan. Menempati posisi “terbaik” pada daftar 5(lima) besar Provinsi Termiskin di Indonesia. 

Sio…Maluku, saki lawang !


Depok, 07 Oktober 2015

Alifuru Supamaraina

Aupulu na'a sosopam na'a kokokum
Alifuru Supamaraina
Alifuru Supamaraina

Na’a Suseuweko, heiloto, heiyale, heiyon, 
mae ete yoo....
mae ete nina yoo.......
mae ete nina – nina yoo....

Mae...
  
nusu mae .... na’ lofuweko .... 

laun Yama Upao


yam Upao'lu


iko seseuweko Upao  


Alifuru

adalah nama suku-bangsa penduduk 


wilayah Maluku, 

Yam Upu Ana hoiloto 

Supamaraina

Pusar suku-bangsa Alifuru, 
dengan gunung Murkele sebagai situs 
yang dikeramatkan aupulu manla’olu 
hoion tunjai  mina-mina o

Alifuru
adalah identitas yang menggambarkan jati diri 
dan adalah jiwa dan raga Orang Maluku
dengan sejarah panjang kehidupan telah dilalui masyarakatnya 
dengan segala suka dan duka

Alifuru

Hetu ...Kupa...lisa... 
Mesee !