Alifuru Supamaraina: 2015

Tuesday, December 15, 2015

BAHASA KAPATA


Suku-bangsa Alifuru 
hanya bisa diketahui sejarahnya 
melalui pemahaman tutur Bahasa Kapata
(oral story) atau disebut juga Bahasa Tanah

Bahasa Kapata 
adalah cara Alifuru 
menuliskan sejarahnya 
dalam bentuk lisan

Bahasa Kapata 
merupakan bahasa komunikasi satu arah 
sebagai kepustakaan pengetahuan 
dan perbendaharaan kekayaan intelektual 
Suku-bangsa Alifuru

Memahami Bahasa Kapata 
mengertilah dan mampu bercakap bahasa-bahasa 
komunikasi lokal Suku-bangsa Alifuru
-------------------------------------------------------------------------------

            Alifuru, adalah Suku-bangsa(sukubangsa) sebagai penduduk asli yang mendiami Kepulauan Maluku, Negara Indonesia,  sejak awal dari ribuan tahun yang lalu.


Tidak ada sejarah tertulis tentang sukubangsa Alifuru sebelumnya, sebab Alifuru zaman dahulu tidak mengenal atau memiliki pengetahuan tentang tulisan, tetapi mereka memiliki kemampuan pengetahuan dalam menciptakan bahasa tutur atau Bahasa Tana(h) sebagai sumber data dan kepustakaan, disebut ; "Kapata", sebutan lain ; Talili, atau Lan - Lani.

Di masyarakat sukubangsa Alifuru Kepulauan Maluku terdapat 117 bahasa lokal Alifuru sebagai alat komunikasi antar penduduk,  sedangkan yang disebut bahasa Kapata, adalah bahasa tutur yang tidak dapat dikomunikasikan antara dua pihak, hanya sebagai bahasa ungkapan sebagaimana sastra puisi atau pantun. 


Secara turun-temurun, bahasa Kapata harus dihafalkan dan kemudian diteruskan hafalan kapata dimaksud kepada anak-cucu keturunan dalam silsila-garis keturunan keluarga di tempat masing-masing berada atau bertempat tinggal. 


Fungsi dan guna bahasa Kapata, untuk mengungkapkan atau menceritakan suatu masalah, suatu kejadian, atau suatu peristiwa, sebagai suatu catatan sejarah dalam bentuk lisan atau oral story. 


Kadang hanya sepenggal kalimat Kapata, untuk sesuatu peristiwa penting dan besar, atau hanya semacam sentilan, juga istilah sebagai kalimat tanda pengingat terhadap sesuatu atau kepada seseorang. 


Sukubangsa Alifuru pernah memiliki "sejarah kelam", saat Belanda dan bangsa Eropa lainnya sebagai penjajah,  menguasai Kepulauan Maluku. Bahasa-bahasa asli penduduk Maluku oleh Penjajah dilarang penggunaannya dalam komunikasi sehari-hari, bahkan bahasa Kapata kemudian banyak yang hilang, lenyap, dan terlupakan oleh sebagian sukubangsa Alifuru. Hanya sedikit orang di Maluku saat ini, yang masih bisa bertutur bahasa Kapata - selain bahasa komunikasi lokalnya sehari-hari .


Untuk bisa mengerti, memahami dan mengartikan atau menterjemahkan bahasa Kapata, maka harus lebih dahulu bisa lancar menggunakan salah satu bahasa lokal komunikasi sehari-hari masyarakat Alifuru. Bahasa komunikasi tersebut sangat beragam, dan tersebar di semua wilayah Kepulauan Maluku. Karena melalui bahasa komunikasi lokal sehari-hari, dapat dijadikan sebagai "kamus" memahami dan menterjemahkan kata dan kalimat bahasa Kapata.

Bahasa Kapata adalah catatan lisan (oral story) sukubangsa Alifuru, guna mengungkap identitas serta sejarah masa lalu, dan menjadikannya sebagai kepustakaan, sumber data rekaman secara lisan. 

Bahasa Kapata sangat "unik dan langka", tetapi menerangkan tentang kemampuan pengetahuan dan kecerdasan sukubangsa Alifuru dalam menciptakan jenis bahasa khas  Alifuru yang tidak dimiliki sukubangsa lain di dunia. 

#Alifuru_mese 

Tuesday, December 8, 2015

Soeharto pun tandatangani kontrak mati di Bosnia

Soeharto pun tandatangani kontrak mati di Bosnia
President of Indonesia Soeharto (1967 - May 21,1998)  (Foto: Okezone)


Jakarta (ANTARA News) - Sejak berkuasa di Indonesia dengan berbekal Supersemar hingga wafatnya, Soeharto terus menjadi bahan pembicaraan kontroversial. Sepekan setelah wafatnya 27 Januari Presiden kedua RI, yang memimpin Indonesia selama 32 tahun itu, giliran sampul majalah Tempo yang diprotes umat Katolik. Soalnya, sampul itu bergambar keluarga Soeharto yang berkegiatan mirip dengan lukisan "Perjamuan Terakhir" dan hal itu oleh umat Katolik dianggap menghina kepercayaan mereka.

Ketika Soeharto dirawat di rumah sakit sejak 4 Januari hingga wafatnya pada 27 Januari, pendapat pro dan kontra juga terus bermunculan, termasuk pro dan kontra mengenai peliputan oleh media massa yang gencar hingga pemakaman Soeharto pada 28 Januari.

Bagi banyak orang, kenyataan itu juga cermin bahwa selama Soeharto menjadi presiden kedua, mulai 1967 hingga 21 Mei tahun 1998, banyak yang terjadi di sekitar dia, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Kegiatan Soeharto yang banyak mendapat perhatian, salah satunya, adalah ketika pada awal dasawarsa 1990-an dia berkunjung ke kawasan Bosnia saat perang saudara Bosnia-Herzegovina bergolak.

Ketika itu, dia ingin menunjukkan simpati kepada kaum Muslim di sana, yang dalam posisi sebagai minoritas menjadi bulan-bulanan kelompok etnis lain. Walaupun ketika itu di sana terdapat banyak faksi yang sulit ditebak posisinya, Soeharto memutuskan pergi ke Bosnia untuk menengahi konflik yang telah menimbulkan korban jiwa ribuan orang itu. 

Pada awal Maret 1995, Soeharto, yang seperti biasa didampingi beberapa pembantu terdekatnya, seperti Mensesneg Moerdiono dan Menlu Ali Alatas mengadakan lawatan ke Eropa.Dalam agenda kunjungan itu, Soeharto juga akan ke Sarajewo, ibukota Bosnia, yang ketika itu menjadi kawasan perang yang brutal. ABRI mengirimkan pasukan pendahulunya untuk menyiapkan kedatangan Soeharto beserta rombongan ke Bosnia, termasuk melakukan pendekatan kepada pemerintah Bosnia serta berbagai faksi yang sedang berseteru. 

Ketika rombongan Presiden Republik Indonesia (RI) tiba di Eropa, belum ada kepastian bisa tidaknya rombongan itu ke Bosnia. Dalam suasana belum pasti itu, sebuah pesawat milik Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) yang melintas di Bosnia ditembak jatuh pada 11 Maret 1995.Kejadian itu memberikan tekanan yang tinggi bagi rombongan Indonesia yang ingin ke Bosnia tersebut. 

Namun, Soeharto memutuskan tetap pergi ke medan tempur itu pada 13 Maret, atau dua hari setelah pesawat PBB ditembak jatuh.Persiapan pun terus dilaksanakan, mulai menyiapkan substansi pertemuan hingga persiapan pengamanan.

Puluhan wartawan yang menjadi bagian rombongan kunjungan presiden pun berharap bisa ikut penerbangan "berani mati" ke kawasan yang ketika itu sedang diwarnai pertumpahan darah itu. Maka, mulai lah banyak rayuan yang disampaikan ke Moerdiono, penanggung jawab perjalanan, agar bisa masuk dalam daftar yang ikut ke Sarajevo, ibukota Bosnia. Upaya rayu-merayu itu berjalan alot, karena sudah dipastikan bahwa jumlah rombongan yang akan ikut Soeharto ke Bosnia itu sangat terbatas.

Akhirnya Moerdiono memutuskan bahwa hanya dua wartawan yang akan ikut terbang ke Bosnia, yakni dari Lembaga Kantor Berita Nasional(LKBN) ANTARA serta Radio Republik Indonesia(RRI). Alasan pemilihan itu akhirnya dapat diterima oleh puluhan wartawan lainnya. Dua wartawan itu kemudian mendapat tugas untuk membuat laporan kepada teman-teman wartawan yang tidak ikut dalam penerbangan itu, walaupun ketika itu belum diketahui cara melaporkan berita kepada mereka dan kepada redaksi masing-masing.


'Kontrak mati'

Akhirnya Presiden Soeharto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina, pada 13 Maret 1995. Jumlah penumpang pesawat buatan Rusia itu hanya 15 orang yang terdiri atas seorang wanita petugas PBB, serta 14 orang Indonesia.

Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk ANTARA dan RRI.

Para wartawan yang tinggal di Kroatia kemudian menyalami ANTARA dan RRI di tangga pesawat dan pada wajah-wajah mereka tampak jelas kekhawatiran atau ketakutan akan nasib rombongan ini. Mungkin juga, perasaan kurang beruntung karena mereka tidak bisa turut.Tidak lama setelah pesawat PBB itu tinggal landas dari Kroasia, seluruh rombongan mendapat sebuah formulir berbahasa Inggeris yang harus ditandatangani semua orang, termasuk Soeharto. 

Formulir itu berupa penegasan bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam penerbangan itu.Walau sempat ragu-ragu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menandatangani kontrak itu. Terlihat juga Soeharto, Moerdiono, Ali Alatas membubuhkan tanda tangannya dalam formulir tersebut.

Setelah terbang sekitar satu jam, akhirnya pesawat buatan Rusia itu mendarat dengan mulus di Sarajevo. Sambil mengenakan rompi anti peluru ANTARA pun dengan tergesa keluar pesawat agar bisa memotret Soeharto turun dari pesawat. 

Ketika itu, Soeharto mendapat pengawalan sangat ketat oleh pasukan bersenjata PBB serta Paspampres. Kemudian anggota rombongan diperintahkan segera masuk ke kantor PBB di bandara itu sambil menunggu persiapan ke kantor pemerintah setempat di tengah kota. 
Untuk rombongan itu, PBB menyediakan beberapa kendaraan lapis baja pengangkut personel (armoured personel carrier/APC).

Soeharto yang juga naik APC disertai ajudan dan pengawal serta seluruh anggota rombongan kemudian berangkat ke pusat kota Sarajevo dengan mendapat pengawalan yang super ketat. Begitu sampai di pusat pemerintahan Bosnia, Soeharto langsung mengadakan pertemuan tertutup dan anggota rombongan lainnya tidak diperkenankan pergi ke tempat lain agar terhindar dari kemungkinan serangan bersenjata dan penembak gelap. Sambil menunggu, ANTARA dan RRI mulai gelisah karena tidak tahu cara untuk mengirim berita. Akhirnya berkat bantuan juru foto Saidi, kedua wartawan ini bisa berbicara dengan Dan Grup A Paspampres Kolonel Sjafrie untuk memakai pesawat telepon langsung yang disiapkan untuk Soeharto.

Tanpa memakai kode akses lokal atau internasional, giliran pertama diberikan kepada wartawan RRI untuk langsung menelepon ke kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.Ketika itu dia langsung bisa mengudara dan laporan berita olah raga yang ketika itu, sekira pukul 20.10 WIB, sedang disampaikan RRI di sela laporan langsung dari Bosnia. Kemudian giliran ANTARA menelepon ke Jakarta dan dilanjutkan ke wartawan-wartawan yang menunggu di Kroasia untuk memberikan laporan mengenai kunjungan Soeharto di negeri yang sedang berperang itu.

Pengalaman mengirim berita dari medan perang itu bakal tak terlupakan. Setelah Soeharto berunding dengan pejabat-pejabat tinggi Bosnia, akhirnya rombongan kembali ke bandara untuk selanjutnya terbang lagi ke Kroasia. Namun ANTARA dan RRI ternyata tidak bisa lagi satu pesawat dengan Soeharto karena ada dua jenderal TNI yang datang mendahului Soeharto harus ikut satu pesawat dengan presiden.

Dengan bantuan seorang letnan kolonel Paspampres (Pasukan Pengawal Presiden), ANTARA dan RRI hari itu juga bisa bergabung dengan menggunakan pesawat PBB yang mengangkut ratusan prajurit PBB yang akan istirahat di Kroasia.

Malam itu juga, kedua wartawan ini tiba di Kroasia. Tepuk tangan meriah diberikan wartawan lain ketika mereka melihat dua wartawan itu sudah berada di lobi hotel dengan selamat.Perjalanan Soeharto ke medan perang itu, walaupun tidak diikuti dengan konferensi internasional mengenai penyelesaian masalah Bosnia seperti direncanakan, semula tetap dikenang sebagai sebuah perjalanan bersejarah. 

Lawatan itu akhirnya menghasilkan berdirinya sebuah mesjid megah di ibu kota Bosnia yang merupakan hasil penyaluran bantuan banyak dermawan asal Indonesia.Presiden Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufiq Kiemas beberapa tahun kemudian mengunjungi masjid tersebut. (*)

-------------------------------------
Sumber (CP) ;  http://www.antaranews.com/print/92760/soeharto-pun-tandatangani-kontrak-mati-di-bosnia 
-----
Catatan ; Soeharto lahir di Desa Kemusuk - Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921 dan wafat pada usia 87 tahun di Jakarta; Minggu 27 Januari 2008 - jam 13.58 WIB. Dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Astana Giri Solo Jawa Tengah.

Saturday, December 5, 2015

Pidato Selayang Pandang Musyawarah Besar Masyarakat Seram Selatan (Tehoru_Telutih)


Aupu Bupati Maluku Tengah , Camat Telutih, Camat Tehoru,
seuwe Aiya Tounlutih beserta staf,  dan Pengurus Besar Keluarga                      Tehoru-Telutih,
Undang, hadirin seseuwe waliwa Masyarakat Tounlutih,
dan khususnya Yama Sapoe-lalin.

Aupulu.... na a sosopam na a kokokum...
                            Na’a Suseuweko, sheiloto, heiyale, heiyon mae ete oo....                          mae ete nina yoo.......mae ete nina – nina yoo....mae
                        Mae,  nusu mae .... na’ lofuweko .... laun yama Sapoe Lalin ;                                sebagai negeri penerus yama Namasina

Alifuru, adalah nama suku-bangsa penduduk wilayah Tolulutih, Tounlutih atau Telutih hari ini. Yang membentang dari Nua huhun di kaki gunung Binaiya(Pinaiya) di barat hingga wae Pulu-Kaba di timur, dari laut pantai selatan pulau Seram Teluk Telutih hingga dataran tinggi pegunungan Manusela di utara.

Yam Waliwa Upu ana hoiloto Supa Maraina.

Pusar Alifuru, dengan gunung Murkele sebagai situs yang dikeramatkan aupulu pinantua - manla’olu hoion tunjai  mina-mina o. Alifuru, adalah identitas yang menggambarkan jati diri dan adalah jiwa orang Tounlutih, dengan sejarah panjang kehidupan yang telah dilalui masyarakat dengan segala suka dan duka, tapi sayangnya lebih banyak dukanya. 

Aupu Bupati Maluku Tengah dan hadirin yang  kami hormati.

Hari bersejarah, catatan penting peristiwa luar biasa, diukir pada hari ini.

Bahwa secara teori, tujuan pemekaran wilayah adalah : untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat, peningkatan keamanan dan ketertiban, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pengelolaan potensi daerah, dan agar terjadinya percepatan pembangunan ekonomi daerah.  Setidaknya, rentang kendali dalam mempercepat pencapaian tujuan dimaksud melalui peluang otonomisasi guna mengurus diri sendiri, dapat lebih diperpendek, dipersingkat.

Sulit bagi kita tidak sepakat dengan alasan ideal dimaksud, kalau saja pemekaran wilayah semata-mata dengan alasan-alasan tersebut, bukan main kemungkinan hasil positif yang dapat dicapai bagi kepentingan masyarakat Telutih.

Tentu bukan sesuatu yang mudah dan dengan singkat mencapainya. Butuh perjuangan panjang yang berat dan melelahkan, baik untuk hanya memperoleh hak otonomi maupun ketika menyelenggarakan pemerintahan otonomi pada saatnya nanti. Tetapi keinginan dan cita-cita yang menjadi nyawa rencana pemekaran ini, adalah sesuatu yang secara rasional diimpikan, dan ditunggu, bukan dinantikan. Tentu saja pemekaran wilayah harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kebanggaan sebagai anak negeri pemilik negeri-negeri di Teluk Telutih hanya dapat ditunjukan dengan keberhasilan membuat kehidupan masyarakatnya menjadi lebih baik dengan terselenggaranya kesejahteraan dan kemakmuran.

Kami mengimpikan kembalinya kejayaan hidup sebagaimana yang pernah dinikmati, ketika bisa bernyanyi dan berpantun senang diujung pepohonan cengkeh dan pala. Di hutan-hutan pepohonan buah-buahan saat panen tiba.
Telutih telah lama berkontribusi secara aktif dengan hasil bumi, sumber daya alamnya, Induk Kabupaten dan Maluku serta Indonesia. Sedianya di usia 70 tahun Indonesia merdeka dan ketika melewati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober besok hari, Telutih dengan kekentalan jiwa Alifuru-nya, akan berkembang menuju perubahan yang lebih bermartabat.  Baik untuk negeri sendiri, maupun Maluku dan Indonesia.

Aupu Bupati dan hadirin yang  kami hormati.
Mae na pina sejarah, tehe’e nam pina sarita.
Mari mengukir sejarah, bukan mengarang ceritera.
Iko seseweko in’no wali wa tun-tun no, wali wa  upa ana hailoto                    Supamaraina o, kalu na iko taho na, sei hoi !

Saat ini, katong tidak lagi mengandalkan Atalai seisi penuh etalo atau vei, tetapi kemampuan rasio, karsa dan karya nyata, melalui pengabdian yang tulus penuh keihklasan.

Nam pina iyo luman o’ na via o’, nam hanue yama Tounlutih.
Belum terlambat, karena kita telah mulai melangkah dan berbuat menggapai harapan.

Selamat datang Kabupaten Seram Selatan
Selamat datang keceriaan dan kecerahan akan masa depan.

Seram selatan,

Messee !



Alifuru ; Identitas Yang Tergerus Zaman

Alifuru ; Identitas Yang Tergerus Zaman
Alifuru
             
          Menyebut Alifuru, sama dengan mengungkit permasalahan dalam kegelapan pemahaman pikiran para pemimpi tentang jati diri yang telah lama kehilangan landasan dan arah. Setelah untuk jangka waktu yang begitu lama, identitas ini diabaikan dan bahkan dengan sengaja di”delet”, oleh akibat terbawah arus politik kepentingan saat di masa lalu menjalani kehidupan menurut tatalaku sang tuan besar, Belanda - bangsa penjajah yang menguasai negeri kepulauan komunitas ras bangsa Alifuru.

Kepulauan yang membentang dan menghubungkan dua benua besar dunia, dari utara dengan samudera Pasifik hingga sampai samudera Hindia di bagian selatan. Memiliki luas wilayah 85,728 km2. Potensial oleh kekayaan sumber daya alam, sehingga menyebabkan catatan sejarah dunia tentang peradaban bangsa-bangsa besar harus berubah, antara lain dalam pemetaan lautan dan daratan permukaan bumi.

Maluku, adalah penamaan untuk menyebut kepulauan bangsa Alifuru ini oleh para bangsa pendatang dari Jazirah Arab. Al-Mulk atau negeri para raja, mereka menyebutnya. Penyebutan demikian lebih pada kenyataan kesaksian bahwa di bagian wilayah utara kepulauan saat itu, telah banyak terbentuk kerajaan-kerajaan kecil sebagai penguasa dan menyebar hampir di semua pulau. Untuk selanjutnya hingga saat ini, kepulauan yang berpenghuni bangsa Alifuru lebih dikenal dengan nama kepulauan Maluku. Saat ini berada dalam kesatuan gugus kepulauan Nusantara,  wilayah negara Republik Indonesia.

Alifuru nau-nau

          Dalam bahasa Alifuru, nau-nau berarti bodoh. Dikatakan bodoh untuk semua hal tentang pengetahuan modern, menurut mereka yang menganggap diri telah pintar, maju dan madern. Tetapi sayangnya, seperti menampar diri sendiri, karena disampaikan oleh mereka yang patut tidak menghina asal-usul dan identitas diri pribadi sendiri. Pengingkaran secara sadar, hanya karena telah merasa lebih pintar dan modern. Sementara yang dikatakan bodoh, adalah untuk membedakan dan secara tidak langsung telah menghina  bangsa Alifuru, hanya karena bangsa Alifuru – saat itu, belum mengenal pengetahuan modern akibat tidak atau belum tersentuh dunia pendidikan sekolah.

Sekedar gambaran dari kesan dan pengalaman secara pribadi,  ketika di penghujung tahun 1970-an, saya datang dari sebuah kampung di selatan pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah. Berkesempatan melanjutkan pendidikan sekolah menengah tingkat pertama di kota Ambon, Ibukota Provinsi Maluku. Sebagai anak kampung atau desa dari luar dan jauh dari kota Ambon, tentu terlihat kaku dan serba bingung untuk hal tertentu dalam menyesuaikan diri dengan gaya dan cara kehidupan teman-teman selingkungan sekolah, yang berasal dari masyarakat kota. Gelar paling dikenal hingga kini adalah kampungan, sebutan penghinaan bagi orang yang pola tingkah konyol menurut orang(masyarakat)perkotaan. Karena baru dari kampung atau desa, tentu cara bicara, aksen, dan kebiasaan anak kampung, masih terbawah dalam keseharian menjalani kehidupan di kota. Hal ini menimbulkan ketidak cocokkan pergaulan yang berujung pada perselisihan diantara saya dengan teman sesama murid satu sekolah, dan juga kadang dengan orang lain di luar lingkungan sekolah. Ucapan khas ketika itu, berupa kalimat umpatan, misalnya “dasar alifuru, alifuru nau-nau, alifuru seram - buru  belakang tanah, dan lain kata sebutan yang kesannya melecehkan dan menghina.

Sudah sangat sering sebutan-sebutan tidak pantas terdengar kepada saya maupun orang lain khususnya yang berasal dari pulau Seram, sebagaimana juga ternyata terjadi kepada  mereka yang berasal dari lain daerah seperti pulau Buru, pulau Ambalau atau kepulauan Gorom. Selama bertahun-tahun, lontaran kalimat demikian oleh mereka yang merasa diri telah lebih pintar dan menganggap dirinya sudah sangat modern kehidupannya, tanpa sedikitpun menyadari dampak tekanan secara kejiwaan bagi yang tertuju.

Penghakiman tanpa penyesalan dan koreksi terhadap diri sendiri, karena tidak pernah merasa bahwa  itu sesuatu yang tidak pantas diucapkan sebab bukan kalimat canda biasa.
Andaikan yang menyampaikan demikian oleh mereka yang secara kasat mata diketahui adalah bukan dari anak-cucu keturunan bangsa Alifuru, maka mungkin tidak menjadi masalah, tetapi kenyataannya sangat mudah diketahui adalah dari dan oleh orang lingkungan anak-cucu bangsa Alifuru sendiri. Sesuatu yang aneh dan memutarbalikkan kecerdasan bagi yang menganggap diri lebih telah berpendidikan. Cara pandang keliru, konyol, terkesan lucu, dan mestinya malah mereka para penghina tersebut yang patut disebut bodoh. Kebodohan akut akibat dibodohi selama ratusan tahun oleh bangsa Belanda sebagai penjajah tanah leluhur bangsa Alifuru.

"Klik" Iklan untuk DONASI 


Hilangnya Identitas Alifuru

Bangsa Belanda sejak abad ke 16, telah hadir dan menggantikan bangsa Portogis yang sebelumnya berkuasa di Maluku. Belanda menguasai dan menjajah kepulauan bangsa Alifuru, Maluku. Kepentingan politik penjajahan, mengatasnamakan kekuasaan absolut, Belanda melancarkan upaya penghilangan paksa identitas asli sebagai jati diri bangsa Alifuru. Bahasa daerah setempat dilarang penggunaannya dalam komunikasi sehari-hari. Pola hidup dan pola menu makanan diterapkan menurut kebiasaan bangsa Belanda. Pemisahan pergaulan antara penduduk pribumi yang telah menjadi kakitangan bangsa Belanda, dijauhkan dari peduduk penentang atau yang masih sulit dijangkau dan atau penduduk pribumi yang masih sulit dimukimkan dalam jangkauan dan penguasaan sang tuan penjajah. Mengganti busana tradisional cawat berupa potongan kain atau serat kulit kayu yang hanya menutupi alat vital dengan pakaian terjahit ala tata busana Belanda–Eropa.

Pemukiman penduduk oleh Belanda dibuat di mana-mana, setelah sebelumnya misi keagamaan pengkristenan bangsa pribumi Alifuru berhasil. Yang telah beragama Kristen, dipisahkan dengan membangun kampung sendiri yang baru, terpisah dari pemukiman masyarakat pribumi sebelumnya yang bukan beragama Kristen. Hal ini menjadi acuan dan cikal bakal kesaksian saat ini, akan adanya perkampungan yang terpisah berdasarkan identitas kepemelukan agamanya masing-masing. Demikian juga Penguasa (Raja, sebutan umum dikemudian hari) atas wilayah dan kampung-kampung bentukan pribumi Alifuru yang ribuan tahun sebelumnya secara hirarkis berkuasa secara tradisi adat berdasarkan kemampuan dan kekuatan kepemimpinan sebagai kepala Kapitan – orang yang memiliki ilmu kekebalan tubuh luar biasa terhadap senjata tajam, tetapi tidak dalam penguasaan bangsa penjajah, maka akan diserang, dipaksa, disiasati secara politis, untuk selanjutnya diganti dengan orang yang tunduk dan patuh kepada Belanda.  Mereka ini merupakan anak emas yang selalu dimanjakan oleh pihak penjajah, disekolahkan, dipekerjakan sebagai jongos, pegawai, atau tentara, dan tentu mendapat gaji dan fasilitas lain.

Ratusan tahun hidup ala bangsa penjajah dengan kekentalan mainstream eropa dan serta  pembiusan impian kemuliaan semu namun dalam kontrol dan aura politik misi jajahannya. Bahwa mereka yang menghambakan diri bertuankan bangsa penjajah Belanda, secara sadar menganggap budaya barat lebih beradab, modern, berkelas dan bergengsi, tentu saja telah berimbas langsung maupun setidaknya telah membentuk dan merubah pola pikir, cara pandang, dan kepribadian, sekaligus mengganti identitas dan jati diri sebagian besar anak-cucu bangsa Alifuru, sejak saat itu bahkan masih terasa dinampakkan hingga saat ini. Akhirnya terbetik ada rasa malu, bahkan bodoh, mengakui diri sebagai keturunan bangsa Alifuru.

Alifuru ; Identitas Yang Tergerus Zaman
Manusia Alifuru di masa lalu (Sumber;pada foto)

Jati Diri Alifuru

                 Betapa tidak berarti keberadaan seseorang, bila menafikan asa-usul dan garis keturunan, karena sama saja dengan mengingkari keberadaannya saat ini, yang berarti pula telah menghapus pengenalan sejarah silsilah identitas diri, selanjutnya akan kehilangan jati diri kemanusiaannya.

Dimanapun di muka bumi, seseorang akan selalu dikenali oleh karena memiliki garis keturunan dan wilayah tempat asal-usulnya, dengan begitu akan diketahui ada-tidaknya serta seperti apa budaya, karakter, kemampuan,  atau kekayaan seperti apa yang dimiliki dalam catatan era perjalanan sejarahnya.

Perubahan situasi zaman, dimana kesempatan memperoleh pendidikan lebih baik, telah menghadirkan pengetahuan dan wawasan lebih luas dan detail tentang kebutuhan akan sejarah perjalanan hidup, dengan pengenalan lebih detail terhadap asa-usul dan garis keturunan dalam suatu kesatuan kelompok ras dan akses kepemilikan atas kewilayahan.
Setidaknya telah memaksa untuk kembali mengenali siapa dirinya sesungguhnya, dari mana dia berasal, dan dimana seharusnya menjalani hidup atau paling tidak untuk menoreh kisah kepada ana-cucu keturunan atau orang lain, hanya bisa bila memiliki wilayah menurut garis keturunan dan diakui di komunitasnya.

Jati diri sebagai bangsa Alifuru,  sepertinya mulai disadari memang perlu untuk diakui dan diangkat ke permukaan, sebagai identitas dan jati diri sesungguhnya komunitas asli pemukim kepulauan Maluku.

Ras Bangsa Alifuru adalah identitas dan jati diri Orang Maluku, banggalah karenanya.


Depok, 05 Desember 2015
Oleh ; M.Thaha Pattiiha
(Iha- Tehuayo)

Saturday, November 28, 2015

WWF celebrates community-based marine conservation

All life on Earth depends on a healthy ocean. Billions of us rely on it for food, livelihoods and regulation of the climate, however, unsustainable practices are pushing our ocean systems to the point of collapse.







WWF celebrates community-based marine conservation

Wednesday, November 25, 2015

Kapitang Besar (Pimpinan) dan Pembantunya, dalam tata busana asli suku-bangsa Alifuru.

Kapitang Besar (Pimpinan) dan Pembantunya, dalam tata busana asli suku-bangsa Alifuru.
                                                                                                                                                                                                                                                                      Kapitang Besar (Kapitano Ela'o) Bangsa ALIFURU(Ilustrasi) / Foto ; Istimewa

ALIFURU DALAM SEJARAH

ALIFURU DALAM SEJARAH
Alifuru dalam sejarah

          Sejarah merupakan peristiwa masa sebelum saat sejarah itu ditulis dan adalah kumpulan catatan perjalanan masa tentang sesuatu, sesorang, suatu kaum atau suku-bangsa. Intinya masa lalu yang diingat, diketahui kemudian diceritakan kembali melalui tutur-cerita lisan atau pun tulisan. Ketika bercerita atau menulis, sesorang cenderung terbawa emosi larut bertutur bisa secara jujur, tapi mungkin juga berbohong atau asal dan mungkin membias karena sudah didramatisir, sebagaimana juga dengan sejarah tentang suku-bangsa Alifuru.

Pemaparan tentang sejarah suatu kejadian di kurun waktu sebelumnya terkadang mengalami distorsi atau pengaruh kepentingan baik oleh pengungkap, sumber, juga peruntukan kepentingan siapa dan untuk apa. Apalagi bila data dokumentasi acuannya tersembunyi atau tidak tersedia,  menghasilkan pengungkapan sejarah yang multi tafsir dan menimbulkan keraguan. Sangat mungkin dipertanyakan kejujuran apalagi kebenarannya.

Secara teori, sejarah ditafsirkan sebagai gambaran lengkap dan detail mengenai peristiwa disuatu waktu dan ruang keberadaan manusia atau tentang sesuatu selain manusia. Begitupun dalam sistem pendataan sejarah dikenal dua jenis data. “Pertama, data tentang rekaman peristiwa di dalam suatu masa, yang memuat tindakan para aktor yang adalah elite dalam sistem sosial di masa lampau. Data ini berbentuk laporan-laporan atau arsip, dokumentasi, dan bangunan (yang lebih banyak menjadi fokus arkeologi). Kedua, hasil penafsiran suatu peristiwa sejarah, yang disusun oleh orang-orang lain di masa kemudian, sebagai suatu bentuk tela’ah kritis terhadap jenis data pertama. Data jenis kedua ini pun terbagi menjadi dua, yaitu penafsiran ‘komunitas penulis sejarah’ yang cenderung bertendensi politis, dan penafsiran kritikus yang melihat adanya sisi-sisi tertentu yang terabaikan, atau adanya ketimpangan didalam rangkaian sejarah itu, dsb – dipertanyakan mengapa tindakan orang-orang lokal tidak terekam sebagai event yang penting dalam sejarah. Bahwa manusia adalah produk dari sejarah itu sendiri, dan memiliki eksistensi historis, artinya memiliki relasi setara antara dirinya dengan orang lain di tengah lingkungan keberadaannya itu (zitz im leben). Idealnya bahwa penceritaan sejarah harus memandang setiap pelaku sejarah sebagai orang-orang yang sejajar, memiliki peran yang sama-sama penting dalam bingkai sejarah” ( Elifas Tomix  Maspaitella,  Jejak Cina di Maluku. Blog, diposkan Julia Soplanit dan edit oleh Penulis)

Suku-bangsa Alifuru diakui keberadaannya sebagai penduduk asli kepulauan Maluku dengan pemukiman awal berpusat di pulau Seram, pulau terbesar di antara hampir seribu buah pulau  dalam gugus kepulauan Maluku. Menurut beberapa  Antropolog, a.l.;  A.H. Keano,  pulau Seram dari dahulu telah didiami oleh suatu suku bangsa yaitu bangsa “Aliforos”.

Bangsa ini berasal dari campuran antara Kaukus Mongol dan bangsa Papua.  Oleh  Antropolog F.J.P. Sache dan dr O.D. Tauern mereka berpendapat bahwa suku Alifuros Alune (ada juga Wemale ; Bloger) yang mendiami bagian barat pulau Seram, berasal dari bagian utara yaitu kemungkinan berasal dari Sulawesi bagian utara atau Halmahera, sebab di pulau Halmahera juga terdapat suku Aliforos.

Pencapaian hasil penelitian para Antropolog tersebut patut di hargai, tapi dipertanyakan untuk bagian tengah dan timur pulau Seram, karena hanya berpusat di bagian barat. Sehingga terkesan terbaca miring bila melihat titik-titik penyebaran komunitas suku-bangsa Alifuru khususnya di pulau Seram, yang disebut dengan Nusa Ina. Belum lagi bila acuan berdasarkan sejarah-tutur atau pengumpulan data dan informasi hanya secara lisan dari masyarakat suku-bangsa Alifuru yang menjadi objek penelitian yang berpusat di wilayah barat pulau. Dapat diterima agar kita dapat meyakini kebenaran sejarah yang di tulis. bila ada bukti nyata melalui penemuan data lapangan berupa situs atau tanda di alam misalnya perkakas/alat perlengkapan untuk berkebun, berburu, menangkap ikan, maupun tulisan atau mungkin gambar di dinding batu. 

Bahwa kemudian hasil penelitian tersebut mewakili  sejarah awal atau  mula asal-muasal suku-bangsa Alifuru  dari tempat bernama Nunusaku dengan tiga batang air, Eti - Tala - Sapalewa, yang mencakup hanya seperempat dari luas pulau Seram ? Atau karena adanya data dokumenter dari bangsa Belanda yang waktu itu bisanya hanya dapat menundukkan dan menguasai suku-bangsa Alifuru di Seram bagian  barat dan berhasil mengacak-acak sistem tata nilai dan tata pemerintahan dan mencukur habis para Kapitang penguasa petuanan (wilayah kekuasaan/kepemilikan) lalu diganti dengan para penguasa boneka Belanda, misal di Eti, juga Kaibobo – yang terakhir ini hilang dari catatan Belanda, pasti.  

Sangat dipertanyakan penelitian para Antropolog hanya cenderung berpusat di wilayah bagian barat pulau Seram, tidak dilakukan penelitian secara keseluruhan pulau Seram – bagian tengah sampai timur dan kepulauan Seram Laut, bahkan lebih luas ke seluruh kepulauan di Maluku sampai di bagian Tenggara jauh, bahkan mungkin termasuk kepulauan Nusa Tenggara bagian timur. Sebagai anak suku-bangsa Alifuru kami berterimakasih kepada mereka para Antropolog, akan tetapi menyayangkan bahwa sejarah Alifuru yang ditulis tidak mewakili secara utuh Sejarah suku-bangsa Alifuru, yang adalah penduduk asli gugusan kepulauan yang sekarang menjadi bagian wilayah negara Indonesia yaitu Provinsi Maluku – Maluku Utara.

Selain itu mentelusur sejarah awal suku-bangsa Alifuru melalui sumber penulisan yang dilakukan bangsa asing seperti China. China mungkin dianggap salah satu bangsa yang cukup tua dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tulisan maupun teknologi armada pelayaran samudera. Bisa saja bangsa China yang paling awal berada di kepulauan Alifuru - Maluku. Terdapat bukti kebendaan berupa alat perlengkapan makan-minum  berbahan keramik seperti piring, mangkuk, kendi dan tempayan air, made in para Dinasti Kekaisaran bangsa China awal abad Masehi bahkan sebelum Masehi, banyak ditemukan di pulau Seram dikalangan keluarga Alifuru dan juga pecahan-pecahan yang sudah menjadi beling pun dapat jumpai tersebar di kawasan dusun atau hutan, pesisir pantai dan  pedalaman pulau Seram. Dalam hajatan upacara adat suku, perkawinan, pada pelantikan  Raja secara adat Alifuruperalatan seperti piring atau pina, keramik antiq buatan bangsa China tersebut menjadi alat wajib digunakan atau disediakan, paling tidak sebagai tatakan mensuguhkan Sirih Pinang. Hal kebiasaan yang merata di semua orang suku-bangsa Alifuru sejak dahulu dan hingga sekarang pun masih seperti itu, sayangnya sekarang ini piring keramik antiqnya sudah banyak yang lenyap. 

Tentang bangsa China ditemukan keterangan bahwa pada abad ke-14 atau tahun 1421 Masehi, saat  Kaisar Zhu Di berkuasa,  Zhu Di telah memerintahkan armada laut China untuk melakukan ekspedisi untuk menguasai kembali alur laut pelayaran di Asia Tengah dari bangsa Arab sekaligus mengulang alur pelayaran dagang yang pernah dilakukan dan didominasi sebelumnya pada abad ke-9 di saat masa Dinasti Tang. (Menzies, Gavin, 1421 Saat China Menemukan Dunia, [terj. Tufel Najib Msyadad], Jakarta: Pusat Alvabet, September 2006). Disini tidak ada keterangan lengkap yang mengisahkan tentang keberadaan dan kehidupan sosial, kecuali kegiatan ekonomi dari para penghuni kepulauan Maluku, yang rempah-rempahnya menjadi bagian dari muatan komoditi dagang armada tersebutPada sumber lain yaitu  Peta Rotz  yang mengungkap alur pelayaran armada China menuju ke Pulau Rempah-rempah, peta yang juga digunakan pelaut Spanyol Magellan berlayar akhirnya menemukan Maluku, yaitu peta yang digambar oleh kartografer di atas armada kapal Zhou Man, hanya  untuk menentukan posisi kepulauan rempah-rempah dalam alur pelayaran dari China ke benua bangsa Aborigin di selatan dan kembali ke China.   

Demikian juga sebagaimana yang dikutip oleh Menzies, dalam salah satu dokumen dari Ma Huan, hanya menceciterakan tentang cara bertransaksi yang dilakukan secara barter dengan masyarakat Alifuru setempat. Atau sama dengan Des Alwi yang menyebut bahwa hasil penelitian Universitas Brown, Amerika Serikat dengan Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira dan Universitas Pattimura pada 1996-1998, bahwa: kira - kira 900 sampai 1.000 tahun yang lalu kapal-kapal China sudah berdagang di Banda karena ditemukan pecahan piring-piring zaman Dinasti Ming dan juga pecahan kendi-kendi, tempayan dari tanah liat yang dibuat oleh orang Banda pada zaman Pra Islam abad ke-9. Begitu pula jauh waktu sebelumnya di masa kekuasaan dinasti Tan (618 – 907 M) telah dikenal rempah-rempah sebagai pengharum mulut, tapi tidak ada penjelasan jenis rempah-rempah apa. Bahkan masa-masa sebelum dan awal abad sesudah Masehi banyak data informasi dan cerita tentang rempah-rempah, yang diindikasikan antara lain adalah cengkih.

Era tulisan yang mencantumkan keberadaan kepulauan Maluku– bukan nama kepulauan Alifuru,  dengan bermacam sebutan terhadap “nama Maluku”, sekadar mengungkap nama wilayah dalam posisi geografis  yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam rempah-rempah cengkih dan pala. Bermula saat bangsa Arab, juga India-Gujarat, dengan jalan dagang yang hadir melalui jalur sutra-jalur perniagaan  darat tertua di daratan benua Asia yang juga melalui China, bangsa Arab sampai di kepulauan Alifuru, kemudian menyusul bangsa Eropa yang kemudian menjadi bangsa Penjajahtidak saja di Maluku tetapi seluruh kepulauan di Nusantara.

Antara bangsa Arab dan Eropa selain misi perniagaan juga hadir dengan misi menyebarkan keyakinan terhadap Ketuhanan, bangsa Arab dengan agama Islam dan Eropa dengan agama Kristen Khatolik dan Protestan. Kehadiran kedua bangsa ini hanya berbeda beberapa abad.

Bangsa Arab diperkirakan ada pada abad ke -9, sebagian sejarawan mengatakan pada abad ke-13, sedangkan bangsa Eropa datang pada awal abad ke-16. Sejak itulah kepentingan ekonomi dan misi agama      di bumi Alifuru menjadi terdokumentasikan dalam tulisan, baik berbahasa arab, berbahasa melayu berabjad arab – arab gundul, dan berbahasa Portogis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Sedangkan keberadaan masyarakat bangsa pribumi Alifuru – tidak jelas menyebutkan istilah Alifuru, hanya semacam catatan pinggir yang diselip untuk dikatakan hampir tidak ada sema-sekali, yang ada hanya berupa catatan tentang para Raja-raja yang menjadi teman misi atau catatan para musuh yang menentang.

Sejarah Alifuru memang sulit dibuktikan keberadaannya secara benar melalui data dokumenter berbasis tulisan, bila dibaca seperti yang terungkap melalui beberapa kepustakaan yang diungkap  kembali belakangan ini di media cetak atau online. Hampir semua informasi yang diungkap dan ditulis dapat disimpulkan semua bermula disaat kedatangan bangsa-bangsa asing, China, Arab dan Eropa. Selain itu yang hampir tidak ada adalah sumber dari keberadaan Kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, masa sebelum kedatangan bangsa-bangsa asing.

Beberapa catatan dan tulisan di media masa – selain dari para Antropolog, yang mengungkap sejarah suku-bangsa Alifuru, hampir semuanya sulit untuk dikatakan telah dapat mengungkap secara detail dan benar, apalagi dibilang jujur. Selain tidak didukung bukti dan data yang  memang sangat sulit ditemukan, juga cenderung bias dan memuat kepentingan penulis juga penutur sumber sejarah. Apalagi sumber data seperti situs, prasasti, alat atau perabotan, apalagi dokumen tertulis tidak ditemui atau tidak diungkap samasekali dalam mengungkap jejak keberadaan awal suku-bangsa Alifuru. Kecuali tanda atau tempat di alam seperti batu, gunung, bukit dan lembah,  kali, area – dusun, dan hutan yang menjadi titik mula berkisah tutur secara lisan oleh siapapun sumber sejarahnya, belum lagi diperparah dan menjadi rancu oleh siapa saja sekarang ini yang merasa  atau mengaku anak keturunan suku-bangsa Alifuru bisa bercerita dan bertutur, menurut versi atau sudut pandang dan kepentingan masing-masing.  

Berpedoman pada ciri-ciri bentuk fisik dan adat kebiasaan kehidupan sosial yang terlihat secara kasat mata, antara lain memiliki kulit gelaprambut ikalkerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletisMaka suku-bangsa Alifuru terlihat sangat berbeda dengan suku-bangsa lain di Indonesia, kecuali seperti suku Timor di kepulaun Nusa Tenggara bagian Timur. Adapun terlihat kesamaan  dengan suku-bangsa di kepulauan Samudera Pasifik  seperti orang Fiji, Tonga, Tahiti, Hawai dan sekitarnya. Mungkin saja ada keterkaitan, sehingga dalam mengungkap tentang sejarah Alifuru di kepulauan Maluku mendapatkan data tambahan dari lain tempat sebagai pembenaran faktual era sejarah kehidupan suku-bangsa Alifuru yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.   

Masyarakat Alifuru hingga kini masih kental pemahaman adat kebiasaan,  khususnya bahasa yang hingga hari ini masih berkomunikasi dengan bahasa anak suku Alifuru di masing-masing wilayahnya, khususnya di pulau Seram. Dengan mentelusur melalui perbendaharaan bahasa-bahasa, dapat saja memahami dan menafsirkan sejarah tutur yang masih terpelihara. Dimana pada suku-bangsa Alifuru, khususnya di pulau Seram – yang dikatakan sebagai awal mula dan sumber manusia Alifuru di Maluku, masih terpelihara  dan memiliki kekayaan bahasa yang sangat beragam tetapi terdapat sebagian kesamaan kosakata dan yang membedakan adalah aksen atau nada, tekanan ucap dan imbuhan pada akhiran atau awalan kata.
 Namun apabila menggunakan alur penelusuran melalui bahasa, maka bukan bahasa komunikasi sehari-hari yang dijadikan rujukan penelitian tetapi yang disebut Bahasa Tana(h) = Kapatah = Talili - istilah Alifuru Tunlutih, yaitu bahasa tutur yang bukan bahasa komunikasi dan tidak dapat dipercakapkan, hanya  diucapkan sepihak atau satu arah oleh satu orang. Bahasa ini “sebagian” masih hidup dan terpelihara dengan baik di mata-rumah/rumah tau-uma-tau/marga tertentu khususnya keluarga keturunan Raja, Kapitan dan Saneri Negeri.

Bahwa bahasa tana(h) dalam penggunaannya memakai istilah-istilah dalam setiap kosa kata yang tidak umum digunakan dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi dipakai untuk menandai dan mengungkapkan satu peristiwa atau menandai sesuatu, baik tempat, orang, benda atau era di masa lalu.  Kekayaan informasi yang termuat dalam perbendaharaan tutur bahasa tana suku-bangsa Alifuru, dapat dikatakan merupakan pencapaian luar biasa kemajuan pengetahuan melalui penciptaan bahasa tana (bahasa lisan) menggantikan bahasa tulis, sebagaimana bangsa lain.

Hal tersebut di atas, menunjukan bahwa titik fokus penulusuran sejarah suku-bangsa Alifuru intinya bersumber dari sejarah tutur atau bukti dalam bahasa lisan – bahasa tana, merupakan rana tersedia  adanya, selain terus mencari lagi sumber baru dan di lain tempat di luar Maluku. Agar anak-cucu Alifuru hari ini dan akan datang dapat terpenuhi pengetahuan secara baik sejarah tentang asal-usul suku-bangsanya dan lebih jauh tentu untuk mengenali jati diri, mengetahui identitas pribadi, keluarga dan posisi suku-bangsa Alifuru dalam dokumentasi perjalanan sejarah Indonesia maupun sejarah dunia.

Sejarah suku-bangsa Alifuru saat masih seperti dongeng menjelang tidur, cenderung tergerus zaman dan bisa saja terlupakan. Hal kemudian dapat memunculkan versi sepihak dan pembenaran terhadap pengaburan sejarah yang disengaja oleh para pihak yang sejatinya bukan berasal dari garis vertikal darah keturunan suku-bangsa Alifuru. 
Demikian. 

‘Aupuluu, naa'a sosopam, naa'a kokokum
Ayo bersama peduli Alifuru.
                                                                                                                                                                            
Depok, 30 April 2013

                 M. Thaha Pattiiha /
(Lele’e  Iha-Tehuayo )

Catatan ; Tulisan ini semata ungkapan pemikiran  pribadi penulis, dilengkapi berbagai sumber tulisan dan kepustakaan sebagai referensi yang tentunya masih ada kekurangan. Akan tetapi dengan kebersamaan, berpikir jernih, mengungkap bijak tanggapan dan wawasan dalam ruang diskusi yang beretika, cerdas, positif, bermanfaat, bermaksud saling menata pengetahuan, menjadikan segalanya damai dan  indah. ( Tulisan ini kembali sengaja beta muat ulang, tanpa perubahan dari sebelumnya )