Alifuru Supamaraina

Wednesday, March 11, 2020

Trans Seram - Jalan Raya Lintas Pulau Seram di dekat negeri Liang - 3 km lurus

MOZAIKCoffee
Picture ; Trans Seram - Jalan Raya Lintas Pulau Seram di dekat negeri  Liang - 3 km lurus ( Photo  Document.& Design : mth_@embun01/11032020)

"Hidup ini tidak lebih penting dari dari menata sesuatu - apapun itu, untuk dititipkan ke masa depan"

Tuesday, March 10, 2020

TAKARAN POLITIK JANJI KAMPANYE KETIKA BATAL PINDAH IBUKOTA PROVINSI MALUKU KE PULAU SERAM

Oleh M. Thaha Pattiiha*) 
TAKARAN POLITIK JANJI KAMPANYE  KETIKA BATAL PINDAH IBUKOTA PROVINSI MALUKU KE PULAU SERAM
Brosur kampanye tentang percepatan pemindahan Ibukota Provinsi ke Makariki di pulau Seram 
(Sumber : Brosur Kampnye Paslon(Diedit;mth_@embun01, 08032020)
Politik itu - juga, seni. Seni menata kata dan meramu cara. Dimana yang di-”kiblat”-i oleh politik itu semata-mata hanya - demi, kepentingan, kepentingan bagaimana meraih keinginan - apapun caranya dan bagaimanapun sulitnya. Suatu keinginan seseorang atau sekelompok orang berlatar kepentingan yang bisa saja multiimpian. Dalam praktek politik praktis - yang ujungnya guna meraih kekuasaan, urut-urutannya bisa dimulai dengan memilih kata untuk meramu kalimat indah, manis, melankolis, “mengawan-awan”, agar menyentuh nurani, meluluhkan bathin, dengan melalui sesuatu yang diimimpikan sasaran, tebar asa penuh optimisme, iyakan saja apapun kehendak publik. Dengan begitu, publik terpesona, merasa keinginannya bakal terpenuhi oleh sang “penebar janji”. Benar-benar seperti implementasi pesan taktik dan strategi elektabiliti Syafullah Fatah - pengamat dan konsultan politik; yaitu “sentuh nuraninya, (lalu) patahkan logikanya.” Teori berpolitik - praktis, memang butuh unsur seni, karena politik adalah ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional ataupun inkonstitusional. Hubungannya dengan konteks judul esai ini, terdapat “kata-kata kunci” wacana - isu, politik paling menarik bagi publik Orang(pulau) Seram yang pernah disosialisasikan - rekam jejak digitalnya cukup jelas, saat kampanye Pemilihan Kepala Daerah - Pilkada - Langsung, salah satu pasangan calon(paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku tahun 2017, yaitu; “Percepatan pemindahan ibukota Provinsi ke Seram.”

Konsep pilkada langsung merupakan sistem yang dianggap paling demokratis karena rakyat memilih secara langsung kepala daerah sehingga legitimasi terhadap proses dan hasil pemilihan sangat besar. Sehingga masyarakat mampu dan mempunyai keluasaan untuk mengontrol jalannya kepemimpinan dan pemerintahan, oleh karena itu pilkada langsung diniatkan sebagai upaya mendemokratisasikan kehidupan berbangsa-bernegara di tingkat lokal. Pertumbuhan demokrasi di tingkat lokal ini merupakan ikhtiar untuk mencari pemimpin lokal yang memiliki legitimasi kuat, demokratis dan representatif (Prihatmoko, 2005: 34). Pilkada langsung merupakan konstruksi Pasal 18 UUD 1945, menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota “dipilih secara demokratis”. Kata “dipilh secara demokratis” ini tidak bisa ditafsirkan kepala daerah dipilih oleh DPRD sebagaimana diatur dalam UU No 22 Tahun 2014 yang kemudian dicabut dengan Perpu No 1 Tahun 2014. Perpu ini dikuatkan dengan UU No.1 Tahun 2015 hingga kemudian berubah menjadi UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota secara langsung oleh rakyat. Sehingga Gubernur dan Wakil Gubernur, Kepala daerah terpilih harus memaknai hakikat pilkada langsung, tidak dipandang sebagai ajang perebutan kekuasaan antarkandidat dan antarpartaipolitik(parpol) di belakangnya, yang berarti diskursus demokrasi lokal hanya melibatkan elite dan parpol, tidak demikian (Wiwin Suwandi, 2016).

 Pilkada Maluku sudah berlangsung sejak tahun 2017 lalu dan paslon terpilih dilantik pada tahun 2018. Telah 2(dua) tahun mengeban amanat rakyat Maluku dan menjalani masa jabatan. Gubernur dan Wakil Gubernur, saatnya - seharusnya, memenuhi dengan merealisasikan janji-janji semasa kampanye. Sebagai pertanggungan jawab politik kepada masyarakat yang memilihnya(ibid). Antara lain tentang pemindahan ibukota provinsi Maluku dari kota Ambon di pulau Ambon ke Makariki di pulau Seram. Janji kampanye yang diucap dalam kampanye panggung calon Gubernur Murad Ismail dan calon Wakil Gubernur Barnabas N. Orno (Murad-Barnabas), dan janji itu ditulis dalam brosur yang disebarkan ke publik pemilih. Poin dimaksud tentu bukan satu-satunya sebab masih terdapat 15(lima belas) dari 16(enambelas) poin program-program unggulan paslon Murad-Barnabas.

Setidaknya pilihan isu politik Tim “Thing Tank” paslon Murad-Barnabas tentang pemindahan ibukota tentu sudah diprakirakan - diukur secara matematika politik, bakal bisa mendongkrak keyakinan pemilih Orang Seram untuk menjatuhkan pilihan kepada paslonnya. Dan pilihan isu tersebut setelah dikampanyekan, ternyata terwacanakan secara baik, dan meluas di kalangan Orang Seram. Cukup efektif berpengaruh dalam membentuk opini pemilih, khususnya Orang Seram - baik di pulau Seram maupun yang bermukim di tempat lain di Maluku. Terdapat keyakinan kuat terhadap latar belakang paslon - lebih khusus kepada kapasitas calon gubernurnya - Murad Ismail, yang dianggap sangat kredibel akan memenuhi janjinya ketika setelah terpilih. Meskipun saat itu terdapat calon Gubernur “pribumi” Orang Seram, tetapi wacana dimaksud cukup kuat mengarahkan pilihan Orang Seram secara signifikan kepada Murad-Barnabas. Pilihan yang terbukti kemudian benar terpilih dan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku periode 2018-2023. Pasangan Murad-Barnabas sekarang sedang menjalani masa jabatannya.

TAKARAN POLITIK JANJI KAMPANYE  KETIKA BATAL PINDAH IBUKOTA PROVINSI MALUKU KE PULAU SERAM
Acara pencanangan pemindahan Ibukota Provinsi Maluku di Makariki pulau Seram, Sabtu 24 Agustus 2003 (Foto; Istimewa)

Rencana pemindahan ibukota Provinsi Maluku sudah dijejaki saat kepemimpinan Gubernur Albert Ralahalu. Alasan dan pertimbangan yang mendasari rencana tersebut adalah percepatan pembangunan perkotaan di kota Ambon di waktu mendatang tidak lagi seimbang dengan daya dukung kelayakan, dengan indikator adanya luas wilayah dan angka  pertumbuhan penduduk. Pertimbangan indikator lain adalah potensi wilayah di Makariki – pulau Seram, dianggap cukup mendukung untuk dikembangkan sebagai Ibukota Baru Provinsi Maluku (tabaos.id). Tepatnya, Sabtu, 24 Agustus 2013, dilakukan peletakkan batu pertama serta penandatanganan prasasti oleh Gubernur Albert Ralahalu dan Ketua DPRD Maluku, turut menyaksikan  Wakil Gubernur Maluku Said Assegaff, Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal, dan Anggota DPRD Maluku. Ketika kembali diwacanakan saat masa kampanye pilkada 2017, memunculkan kembali suatu harapan akan segera direalisasikan karena sudah pasti akan ada perubahan berarti mengikuti aktifitas berpindahannya ibukota provinsi di pulau Seram.

Bagi Orang Seram yang telah turut serta berkontribusi secra electoral, terima atau tidak terima, harapan agar direalisasikan janji politik saat kampanye pilkada ternyata harus dirasionalisasikan melalui semacam pemahaman melalui teori “Kelirumologi” - meminjam istilah Jaya Suprana - pendiri Musium Rekor Indonesia,  bahwa itulah kenyataan dari suatu janji politik. Mungkin ada kekeliruan dengan janji itu, atau Orang Seram yang keliru mengira itu suatu janji. Senin, 09 Juli 2019, Gubernur terpilih Murad Ismail membantah dengan mengatakan; TidakTidak ada pemindahan Ibukota”. Saya sudah ke Jakarta untuk membicarakan masalah tersebut. Tapi, tidak mudah pindahkan Ibukota. Sebab, kita pindahkan Ibukota, berarti harus pindahkan juga Polda dan juga markas Pangdam, Kajati dan lainnya.”(tabaos.id, ibid)

Elektabilitas elektoral bisa mungkin akan terpengaruh kepada pemilih yang pilkada lalu menentukan pilihannya berdasarkan isu pemindahan ibukota. Begitupun moral politik paslon, akan dijadikan pertimbangan pemilih secara rasional, dengan menakar ulang kemana arah pilihannya bilamana yang bersangkutan kembali mengikuti pilkada dan memunculkan isu politik baru di masa kampanye - tentu perlu ditindak lanjuti keterkaitannya dengan cara disurvei. Tetapi akan ada penilaian tentang kejujuran untuk penepatan janji-janji saat masa kampanye. Kesimpulannya menjadi pembelajaran politik dan ukuran moral untuk menentukan arah kepercayaan pemilih apakah masih akan memilih yang bersangkutan atau sebaliknya meninggalkannya. Ukurannya sederhana dan masyarakat pemilih yang sekarang makin cerdas memahami dunia perpolitikan. Akan dikatakan “janji yang lama - sebelumnya, saja belum ditepati, mana mungkin akan menepati janji yang baru”. Kemungkinan lain, isu kegagalan memenuhi janji tersebut boleh jadi akan diangkat oleh “lawan tanding” paslon di pilkada mendatang, tetapi hanya sebatas itu. Sebab tidak bakal efektif lagi bila hendak diangkat dalam kampanye. Ukurannya butuh kapasitas paslon yang mampu meyakinkan ketika membonceng ulang isu pindah ibukota, agar tidak menjadi boomerang. Sebaliknya bagi Murad-Barnabas - masih cukup waktu dan kesempatan, berkewajiban menjelaskan mengapa janji itu batal, selain fator kendala pendanaan, apakah akan diganti hal lain, atau memang hanya sebatas “janji kampanye” demi meraup suara pemilih Orang Seram.

Tipekal pemilih dalam hajatan politik pemilihan umum(Pemilu) yaitu; pemilih  tradisional, pemilih emosional, dan pemilih rasional, tidak lagi menetap karena dipengaruhi pengetahuan politik masyarakat dari pemilu ke pemilu telah membuat kian melek politik. Pemilu lokal berupa pilkada langsung, umumnya orientasi penentuan pilihan menunjukan trend peningkatan pemilih rasional dari pada pemilih tradisional yang masih cenderung berpola pragmatis dan primordial. Kecenderungan lain sebagai dampak negatif pilkada langsung adalah adanya pemilih terdaftar yang pasif, tidak menggunakan - lagi, hak pilihnya akibat ingkar janji kandidat terpilih dan selain hal lain seperti perilaku Korupsi, Kolusi, Nepotisme(KKN), selain dari penilaian kepada kapasitas - kemampuan, para calon baru atau calon incumbent - petahana,  di periode kepemimpinan sebelumnya. Ikut terpengaruh pula yang memperbesar pemilih pasif, adalah pemilih tradisional yang menganggap tidak akan mendapat atau berpengaruh apa-apa bila hak pilihnya digunakan atau tidak digunakan. Kondisi ini – menurunnya penggunaan hak pilih, mungkin hanya bisa tertolong bilamana pemilih emosional - pendukung utama kandidat, maksimal menggunakan hak pilihnya.

Tipekal dan trend pemilih demikian tersebut di atas, dalam hubungannya dengan tema yang dibahas – janji pindah ibukota, berlaku hanya kepada pemilih Orang Seram dari kalangan “pribumi” beretnis Alifuru yang bermukim di luar pulau Seram maupun yang di pulau Seram - dalam hubungan ini masyarakat di kecamatan Teon Nila Serua(TNS) - serta  etnis Alifuru asal pulau-pulau lain -  sudah termasuk di dalamnya. Dan belum tentu berlaku bagi keberadaan penduduk Seram umumnya yang saat ini makin menunjukan peningkatan signifikan, seperti di Seram bagian barat yang sudah didominasi oleh penduduk terkonsentrasi - selain wilayah lain di Seram, asal Sulawesi Tenggara, dan asal wilayah Indonesia lainnya yang bermukim di daerah transmigrasi. Pemilih disebut terakhir mungkin yang tidak perduli dengan janji politik dimaksud. Bagi Orang Seram - rencana pindah ibukota yang batal, sudah pasti jadi catatan_kaki yang akan kembali ulang dibaca saat pilkada mendatang.

Para politikus terbiasa menebar janji. Janji politik yang akan berakhir ketika telah mendapat suara pemilih. Secara etika dalam moral perpolitikan tidak dianggap hal luarbiasa yang butuh klarifikasi langsung dan cepat. Biasanya suatu janji politik akan dibiarkan tenggelam hingga pupus ditelan waktu dengan cara didiamkan, atau lenyap terlupakan dengan memunculkan isu baru yang lain. Sisi moral dalam dunia politik kadang sengaja dibuat menjadi relatif, pertimbangannya tergantung kepentingan. Mungkin karena, “politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (Harrold D. Laswell, 1939, Politics : Who Gets What, When, How).

Bukan kebiasaan baru, sudah sering janji-janji politik - terucap dan tertulis, sebagai cara dan upaya demi meraup dukungan suara pemilih saat pemilu. Seiring kekuasaan yang kemudian telah digenggam, janji-janji itupun dengan sadar sengaja dilupakan, atau dengan dibantah - diingkari, secara sengaja. Suatu preseden buruk bagi demokrasi yang dianggap sebagai cara paling beradap dalam memilih pemimpin, karena hak rakyat diposisikan terhormat yang langsung menentukan sendiri wakilnya untuk memimpin mereka. Bila hak suara itu dikhianati, rakyat sendiri yang harus memutuskan seperti apa kemudian.

            Bila berandai-andai, mungkinkah bilamana janji pemindahan ibukota yang sudah makin tenggelam dalam wacana perpolitikan pemerintahan Murad-Barnabas saat ini, yang boleh dipastikan janji itu batal - tidak akan ditepati - butuh penjelasan langsung yang bukan sebatas komentar menjawab pertanyaan kalangan media massa. Dan bilamana janji tersebut dikonversikan atau dikompensasikan melalui program pembangunan lain yang setidaknya bisa mengimbangi harapan - mengobati kekecewaan, Orang Seram akan manfaat bila ibukota segera dipindahkan ke pulau Seram, bakal mempengaruhi pilihan Orang Seram kepada pasangan Murad-Barnabas atau salah satu diantara keduanya apabila kembali maju berlaga pada Pilkada berikutnya?

Sesungguhnya, “politik bukan parang yang hanya satu muka, tetapi pedang yang bermuka dua,” kata beta.
Gg Swadaya, 10 Maret 2020
----------------------------
*) Penulis adalah Pengurus Harian Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan (DPC. PPP) 
    Kota Ambon - 4(Empat) Periode ; 1985 s/d 2005.

Monday, February 24, 2020

IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU

Oleh : M. Thaha Pattiiha

  IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU
Antara Alifuru dan Maluku/Ilustrasi(Foto Dok.Grafis:mth_@embun01, 20022020)
Etnis Alifuru dan nama Maluku, dua hal dalam sengketa sejarah dan identitas. Masing-masing bermakna beda dalam satu bidang pigura, tetapi bukan seperti mozaik yang berkomposisi dalam paduan serasi sehingga hasilkan keindahan. Bagi Alifuru - dalam tulisan ini menunjuk kepada “etnis” Alifuru, bagian-bagian mozaiknya masih terselip di dalam baju Maluku. Akan terus diperjuangkan untuk dikembalikan, agar ditata ulang yang bukan lagi suatu lembaran mozaik, tetapi sebuah lukisan realisme yang utuh tanpa cela dan garis pemisah. Bila pun ada kalangan yang terganggu “kenyamanannya” oleh beberapa tulisan yang fokus mengungkap “borok” yang selama ini dalam banyak sejarah yang ditulis tentang Maluku - Maluku Utara, yang lebih menonjolkan kesan baik, agung, masyhur, manis, hingga romantis - umumnya demikian - tidak umum bila mengungkap yang sebaliknya. Wajar saja, tetapi bukan acuan pertimbangan merubah ritme yang sudah menemukan notasinya. Menyadari jati diri selaku salah satu anak adat Alifuru, terikat tanggung jawab moral untuk tidak sengaja mengabaikan masa lalu, karena merupakan pedoman arah guna menata jejak ke masa depan. Di dalam keyakinan menurut mithologi kosmos adat Alifuru, terdapat implikasi dampak, bilamana mengetahui sejarah dan warisan tatanan adat telah dirusak tetapi sengaja diabaikan anak-anak adat.

Sejarah dengan konotasi kala nama Maluku - pengertian nama dalam tulisan ini, adalah sejarah kolonisasi dan imperialis kepulauan serta perbudakan - bahkan genosaide, terhadap Alifuru. Hal itu yang terekam dalam memori ingatan melalui sejarah yang belum lama ditulis - bacaAdnan M. Amal, 2010, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. KPG - Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta., - “catatan sejarah yang jujur”.  Sebab selama masa kolonisasi dan imperialisasi berlangsung - setidaknya lebih dari 400 tahun oleh bangsa Eropa plus Jepang bersama imperium lokal dari utara - masa sejarah kala Maluku, hak-hak kepemilikan, hak kemerdekaan hidup dan kehidupan, serta warisan kekayaan budaya Alifuru sengaja dimarjinalkan, bahkan berusaha dihapus - dimatikan. Sebaliknya sejarah Alifuru, kalaupun pernah ditulis, terbaca seperti terpaksa - mungkin karena kesulitan membahasakan atau tidak menemukan cara dan istilah pengganti.

Kebudayaan yang lahir dari rahim komunitas Alifuru, sekaligus gambaran betapa hebat - secara intelektual, bijak, dan mulia catatan keunggulan kemampuan daya cipta. Pencapaian hebat yang sudah lahir jauh waktu sebelum tiba masa kegelapan di era kala Maluku dulu, juga hingga kini. Sejumlah kekayaan warisan tak benda Alifuru, seperti Bahasa Tana dan bahasa-bahasa lokal, nama Matarumah - fam - marga, budaya Pela-Gandong, falsafah Patasiwa-Patalima, budaya Kapitang, Sistem dan struktur Pemerintahan Adat, Hukum Adat, budaya rumah adat Baileo, budaya Batu Pamali, sistem Hak Ulayat - Petuanan - Dati, budaya Kalwedo - nilai adat yang menjalankan tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilietaHukum Adat Larvul Ngabal, budaya Dua Lolat  - serta Upacara Fangnea Kidabelabudaya Ursiuw dan Urlim  - dengan berkembangnya tradisi Letay - sementara di masyarakat yang jauh dari pusat keramaian atau perkotaan disatukan dalam budaya Sitakaka Walike, hingga budaya rumah adat Hibua Lamo  - berkonsep Nanga Tau Mahirete - dalam filosofis Ngone O'Ria DodotoBudaya SasiHawear, dan Matakau.

Kekayaan warisan benda, berupa hutan-hutan lebat di rimba belantara semua pulau - khususnya pulau-pulau besar. Hutan adalah jiwa dan kehidupan Alifuru, sehingga sangat dilindungi. Ribuan tahun kekayaan warisan benda seperti hutan yang juga habitat hewan, burung-burung “surga”, aneka tumbuh-tumbuhan endemik dan khas, aliran sungai, kali, dan  danau dijaga kelestariannya seperti memelihara hidup dan kehidupannya. Merusak alam sama saja menyumpahi dan merusak “rumah kediaman” para leluhur Alifuru, dan hal itu dapat berdampak buruk bagi lingkungan kehidupan dan perjalanan hidup komuniti di sekitarnya. Belantara hutan dengan potensi kayu luar biasa yang mengundang para pencari untung leluasa hadir dengan berbekal “sepotong surat ijin” dari penguasa politik berbaju Maluku, dan aneksasi paksa kekuasaan negara, lalu merampoknya secara formal.

Kekayaan kebudayaan warisan takbenda dan warisan benda milik Alifuru sekarang dieksploitasi sedemikian rupa - tanpa menyebut asal-usul atau sumber, untuk kepentingan kekuasaan dan pemerintahan, politik, ekonomi, bahkan agama. Agar tidak terbaca hanya menjiplak - hak cipta dan hak intelektual Alifuru, sengaja direkayasa sejarahnya agar nampak berbeda lalu dikenakan sebagai “baju Maluku”. Baju sejarah karena milik orang lain tentu bisa longgar, sesak, atau malah robek. Seperti itu bila bukan milik, malah terlihat lucu karena tidak cocok. Dan bila dibuka, akan terlihat baju tersebut label aslinya beridentitas Alifuru. Sudah sangat lama identitas sang pemilik - nama - sejarah - kekayaan budaya - hak kepemilikan sumber daya alam, yakni Alifuru, disembunyikan di dalam baju “palsu” Maluku. Berlangsung selama masa-masa ekspansi dan aneksasi wilayah Alifuru menjadi wilayah koloni – jajahan, oleh Maluku - hingga saat ini pun belum berakhir. Kanalisasi hingga marjinalisasi terhadap eksistensi Alifuru hampir saja menguburkan dan menghapus identitasnya. Mungkin karena para leluhur sengaja mengambangkan situasi hingga saatnya dengan momentum yang tepat untuk bangkit. Fenomena itu sekarang bersinergi yang secara bertahap terus menemukan alur dan terbangun jaringannya. Kesadaran politik anak adat atas hak-hak komunal Alifuru adalah keniscayaan, yang sebaliknya tidak elok bagi pihak tertentu. Menguatnya politik identitas Alifuru sebagai ciri yang melekat dan menunjukan jati diri adalah fenomena positif, yang bila sekarang dianggap menemukan ruang dan momentum untuk bersuara, hal demikian karena mulai muncul kesadaran atas perasaan adanya perbedaan-perbedaan. Rasa yang berbeda menjadi otherness - Connolly, William, 2002, Identity \ Difference: Democratic Negotiations of Political Paradox, Minneapolis: University of Minnesota Press: 64, untuk mengamankan kepastian dan menguatkan identitas diri bahwa etnis Alifuru juga memiliki martabat sebanding dengan etnis yang lain, bahkan memiliki nilai lebih.
Baca juga ; 
Alifuru; Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Selama ini potensi eksistensi dan identitas politik Alifuru dipolitisasi oleh kekuasaan politik hanya sebagai “kantong suara”, setelah itu dimarjinalkan dan dibungkamkan, hak-hak adat dan hak azasi tradisionilnya diabaikan dan malah  dikriminalisasi. Sumber daya alam Lingkungan adatnya masif dieksploitasi yang tidak utama demi kepentingan komunitas bersangkutan. Komunitas adat Alifuru sudah sejak lama diperlakukan sebagai budak dan sumber daya alam wilayah adatnya dieksploitasi dengan rakus oleh kolonialis, dan imperialis. Mau sampai kapan lagi. Saatnya diakhiri, sehingga wajar bila Alifuru berusaha memperjuangkan hak-hak politiknya yang sebelumnya sengaja diberangus. “Apa yang membuat politik identitas berbeda secara signifikan dari bentuk-bentuk awal politik pengenal pra-identitas, adalah tuntutannya untuk pengakuan berdasarkan pada dasar di mana pengakuan sebelumnya telah ditolak.  Tuntutannya bukan untuk dimasukkan dalam kesatuan “umat manusia universal” berdasarkan atribut manusia yang dimiliki bersama; juga bukan untuk menghormati “meskipun ada perbedaan”. Sebaliknya, apa yang dituntut adalah menghargai diri sendiri sebagai berbeda.” - Kruks, Sonia, 2001, Retrieving Experience: Subjectivity and Recognition in Feminist Politics, Ithaca, NY: Cornell University Press: 85. Bagi banyak pendukung politik identitas, permintaan akan keaslian ini mencakup seruan kepada masa sebelum penindasan, atau budaya atau cara hidup yang dirusak oleh kolonialisme, imperialisme, bahkan genoside. Dalam pembelaannya untuk kembali ke nilai-nilai adat tradisional, Taiaiake Alfred berpendapat bahwa: Sistem tata kelola masyarakat adat mewujudkan nilai-nilai politik yang berbeda, sangat berbeda dari nilai-nilai arus utama. Gagasan Barat tentang dominasi (manusia dan alam) secara nyata tidak ada; di tempat mereka kita menemukan harmoni, otonomi, dan rasa hormat. Kami memiliki tanggung jawab untuk memulihkan, memahami, dan melestarikan nilai-nilai ini, tidak hanya karena mereka mewakili kontribusi unik untuk sejarah gagasan, tetapi karena pembaruan rasa hormat terhadap nilai-nilai tradisional adalah satu-satunya solusi abadi untuk masalah politik, ekonomi, dan sosial yang menimpa orang-orang kita.” - Alfred, Taiaiake, 1999, Peace, Power, and Righteousness: An Indigenous Manifesto, Oxford: Oxford University Press: 5.


Terdapat 2(dua) versi yang saling berbeda latar belakang alasan ketika mengenalkan nama untuk wilayah kepulauan di antara kepulauan dan pulau Papua di timur dan kepulauan dan pulau Sulawesi di barat, samudera Pasifik -negara Palau - di utara, dan benua Australia di selatan. Versi “Maluku”, adalah penamaan baru yang secara sepihak dipaksakan untuk digunakan serta dikenalkan guna kepentingan tata administrasi kekuasaan wilayah koloni dan imperial - jajahan. Versi “Alifuru” - atau sebutan sejenis yang lain serta pengertian bangsa - suku - etnis, sila baca; “Etnis dan Nama Alifuru” dalam Maluku Dan Alifuru Dalam Dilema Nama Yang Tertukar, adalah versi paling jujur dan sangat benar, sebab memperkenalkan bukti sesungguhnya tentang nama identitas manusia pribumi pemukim wilayah kepulauan dan perairan laut di barat New Guinea atau Papua adalah etnis Alifuru. Karena itu, bagian perairan terluar wilayah dimaksud dinamai dengan nama yang sama dengan nama etnis pribuminya, yaitu laut Arafura atau Arafuru. Bila demikian, betapa telah membodohi diri sendiri - sesuatu yang memalukan, mempertahankan - “basandar matarumah orang”, dan meneruskan nama - matarumah, Maluku.  Nama dengan berbagai catatan kejahatan dan sejarah kelam etnis Alifuru masih digunakan, sementara identitas pribuminya terus digelapkan.

Dari tulisan tentang Maluku Dilema Nama Warisan Kolonial, kemudian disusul tulisan berikutnya sebagai uraian yang lebih detail dengan alasan dan tambahan sumber ilmiah, melalui tulisan; Maluku Dan Alifuru Dalam Dilema Nama Yang Tertukar, muncul kesan - dari sekian komentar via media sosial, ada yang keberatan dengan beban yang menyertai perubahan nama tersebut. Itu sudah pasti seperti itu, selain kesulitan mengganti nama tersebut dengan entah nama apa, tidak juga sekejap mata, dan tentu butuh biaya yang tak terhingga. Hanya seperti itu, betapa tidak seberapa besar beban dan sekejap pula mampu menghapus trauma masa lalu yang dialami Alifuru. Dalam hal ini, dikecualikan bagi sebagian Alifuru yang ikut - bergabung dengan bangsa kolonial dan imperialis, menikmati kesenangan hasil kolonialisasi dan imperialisasi di atas penderitaan pribumi Alifuru. Dikatakan akan ada beban “kerepotan” serta biaya, memang ada, kecuali tidak terdapat atau tidak pernah ada setingkat daerah di Indonesia atau negara di dunia yang mengalami pergantian nama.
IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU
Terdapat 3(tiga) cara melemahkan dan menjajah suatu bangsa pertama; kaburkan sejarahnya, kedua; hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya, dan ketiga; putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan jika leluhurnya itu bodoh dan primitif - Architecs of Deception - Secret History Freemasonry -tribunrakyat.com (12/12/2012).  Konsep kolonialias dan imperialis memang demikian, dan hal itu memiliki dasar pemikiran sebagai alasan. Seperti itu pula kenapa ada kolonisasi, Ir. Soekarno menjawab begini: "jang menjebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasjhuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan buka pula oleh karena negeri rakjat jang mendjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banjaknja penduduk, -sebagai jang diadjarkan oleh Gustav Klemm-, akan tetapi asalnja kolonisasi jalah teristimewa soal rezeki. Jang pertama-tama menjebabkan kolonisasi jalah hampir selamanja kekurangan bekal hidup dalam tanah airnja sendiri", begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah mentjari rezeki dinegeri lain! Itulah pula jang menjadi sebab rakjat-rakjat itu mendjadjah negeri-negeri, dimana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula jang membikin "ontvoogding"-nja negeri-negeri djadjahan oleh negeri-negeri jang mendjadjahnja itu, sebagai suatu barang jang sukar dipertjajainja. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul-nasinja, djika pelepasan bakul itu mendatangkan matinja". Begitulah tragiknja riwajat-riwajat negeri-negeri djadjahan! Dan keinsjafan akan tragik inilah jang menjadarkan rakjat-rakjat djadjahan itu. - Ir. Soekarno, Di Bawa Bendera Revolusi, hal. 1-2, dalam Beta Boetje, 2015, Kenapa Ada Kolonisasi, fb.
IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU
Sejarah dan kebudayaan Alifuru saatnya dikembalikan untuk didudukkan secara proporsional. Tetapi harus dijauhkan dari maksud untuk diagung-agungkan atau untuk disombongkan - sangat dilarang sesuai petuah adat, karena hal itu tidak dikehendaki para Datuk dan Nenek-moyang. Dan untuk nama “Maluku” samasekali tidak bermakna apapun dalam literasi tatanan adat komuniti etnis Alifuru. Nama itu miskin - bahkan papah, dari norma dan nilai hukum adat yang menyertai berupa hak kepemilikan petuanan atau hak ulayat. Sudah tidak ada relevansinya nama “Maluku” untuk terus dipakai dan dipertahankan, sudah kehilangan esensi dan makna positifnya, sementara bersarung baju - saat ini, beridentitas sejarah dan kebudayaan Alifuru.

Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did”, artinya:Milik orang lain tetap jadi miliknya, dan milik kita tetap jadi milik kita.” - Hukum Hawear Balwirin - bagian ke-7(tujuh) Hukum Adat Larvul Ngabal - Kepulauan Key.

Depok, 22/02/202

Sumber Bacaan  Online:
-          plato.stanford.edu
-          acedemia.edu
-          semanticscholar.org
-          openscholarship.wustl.edu

Sunday, February 23, 2020

TUGAS DAN FUNGSI DEWAN ADAT

Oleh ; M. Thaha Pattiiha
TUGAS DAN FUNGSI DEWAN ADAT
Ilustrasi Dewan Adat (grafis;@mth_embun01/23022020)
Setelah ide*) tentang Dewan Adat dihaturkan ke publik, khususnya dalam jaringan komunitas “anak adat”. Sungguh mendapat tanggapan, dan sambutan positif, yang intinya sangat mendukung ide tersebut. Sesuatu yang diharapkan dari tujuan ide itu diperkenalkan ke hadapan khalayak - masyarakat, khususnya anak adat.
Maka itu, beta lebih lanjut ingin mencoba merekayasa mekanisme pembentukkannya dan menjelaskan fungsi Dewan Adat sebagai aspirator, mediator, dan fasilitator Masyarakat Adat, dan bidang tugas yang menjadi wewenang dan tanggung jawab serta area kuasa kedudukan formal setelah Dewan Adat sudah dibentuk dan dinyatakan resmi bertugas.
Dewan Adat sudah umum dikenal dan dibentuk di banyak tempat di seluruh Indonesia, khususnya pada daerah dengan komunitas masyarakat yang masih kental adat-istiadat. Kelembagaan Adat sudah sangat terstruktur dan masif dibentuk di Aceh dan Papua. Dua daerah yang mendapat perlakuan berbeda dari wilayah Indonesia lainnya selain Jakarta dan Jogjakarta, yang satu otonomi istimewa dan satu lagi otonomi khusus. Maka, berpedoman pada wilayah-wilayah yang sudah membentuk Dewan Adat, dijadikan acuan dengan penyesuaian sesuai kebutuhan dan karakteristik daerah yang komunitas masyarakat adatnya  secara geografis  terpisah-pisah pada banyak pulau tetapi dalam kesatuan gugus kepulauan.
Masyarakat Adat merupakan komuniti penduduk asli yang secara turun-temurun menempati dan menjalani hidup pada suatu wilayah serta diatur dan tunduk kepada norma dan nilai baku yang disepakati bersama. Norma dan nilai baku berlaku sebagai hukum adat atau hukum tidak tertulis, sifatnya mengikat dan mengatur hak dan kewajiban kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan wilayah komunitasnya. Kesatuan komunitas suatu Masyarakat Adat tidak saja pada satu wilayah daratan, sebagaimana Maluku, walaupun terpisah pada begitu banyak pulau, tetapi tetap terhubung oleh jalinan norma dan nila baku kesatuan adat.
Kedudukan Dewan Adat sebagai lembaga permusyawaratan perwakilan Masyarakat Adat. Dengan Fungsi Dewan Adat, adalah sebagai lembaga: (a). Aspirator; menerima, menampung, dan menindak lanjuti permasalahan-permasalahan Masyarakat Adat. (b). Mediator; memediasi permasalahan perselisihan adat, baik antar intern Masyarakat Adat, dan/atau Masyarakat Adat dengan pihak lain. (c). Fasilitator; membantu memfasilitasi kepentingan antar Masyarakat Adat, Masyarakat Adat dengan pihak lain.
Fungsi tersebut diikuti dengan tanggung jawab yang merupakan Tugas Dewan Adat, yaitu: (a). Menghimpun, meneruskan, dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan Masyarakat Adat kepada pemerintah, swasta, dan pihak lain. (b). Melindungi, menyelamatkan, dan melestarikan tatanan adat, berupa norma-norma, nilai-nilai arif, serta kekayaan warisan budaya Masyarakat Adat. (c). Melindungi dan memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat atas kepemilikan Hak Ulayat – Hak Petuanan, dan Sumber Daya Alam. (d). Ikut serta dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa masalah adat melalui pembentukan forum musyawarah adat yang diadakan untuk keperluan tersebut, di dalam satu komunitas Masyarakat Adat, antara sesama komunitas Masyarakat Adat, atau Masyarakat Adat dengan pihak lain, dan (e). Menjalin hubungan baik dan bekerjasama dengan Pemerintah, Legislatif, Yudikatif, Kepolisian, pihak Swasta, dan berbagai pihak, dalam rangka penguatan dan pemberdayaan hak-hak hukum adat dan budaya Masyarakat Adat untuk tujuan mensejahterakan Masyarakat Adat.
Fungsi dan tugas Dewan Adat tersebut bersifat Draft. Silahkan dibedah lagi bila dipandang perlu untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks wilayah serta keragaman komunitas beserta kepentingan dan permasalahan adatnya. Diperhatikan dan disesuaikan juga dengan perkembangan politik pemerintahan baik di daerah maupun nasional Indonesia, khususnya dalam memperlakukan dan memposisikan keberadaan Masyarakat Adat sebagai komuniti etnis pribumi beserta hak-haknya.
22/02/2020

--------
*) Saran dari hasil diskusi dengan “seseorang”.

Tuesday, February 18, 2020

DEWAN ADAT MALUKU ; Dibutuhkan Guna Menyelamatkan Tatanan Adat Dari Praktek Politik Oligarki Penguasa Lokal Kabupaten Dan Kota Serta Penyamun Adat Negeri

Oleh; M. Thaha Pattiiha
DEWAN ADAT MALUKU ; Dibutuhkan Guna Menyelamatkan Tatanan Adat Dari Praktek Politik Oligarki Penguasa Lokal Kabupaten Dan Kota Serta Penyamun Adat Negeri
Ilustrasi Dewan Adat Maluku (mth_@embun01/18022020) 

Judul tulisan ini memang panjang, sepanjang satu tarikan nafas perasaan nelangsa dan berkecamuknya pikiran-pikiran ketidakpuasan dan ketidakterimaan terhadap nasib dan masa depan negeri-negeri adat. Ketika menyaksikan dari hari ke hari tidak pernah surut oleh peristiwa-peristiwa yang cenderung menciderai tatanan adat yang terpelihara sejak dulu. Ternyata bukan hanya Belanda, di zaman sudah merdeka pun praktek “suka-tidak suka” pada pemerintahan berdasarkan adat Negeri - Desa - Hena - Aman - Ohoi - atau sebutan lain, malah ulang dipraktekkan dalam kewenangan sebagai penguasa otonomi daerah - kabupaten dan kota. Demi melanggengkan kekuasaan pihak tertentu adat dibuat seakan lomba “hela rotan”, yang kuat yang menang. Mereka adalah “orang baru” yang menang karena peluang politik yang dapat mengangkangi tatanan adat dan karena didukung kekuatan uang. Akumulasi ketidakpuasan atas peristiwa-peristiwa penghancuran tatanan adat, telah mengerucut membentuk suatu pandangan “kasar” yang perlu disuarakan ke publik. Rasa prihatin selaku anak adat, tentu harus peduli. Berharap akan ada perubahan kesadaran atas tanggungjawab moral kepada kepentingan jangka panjang pelestarian kearifan nilai-nilai adat. Adat mengandung nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan sosial, dan hukum adat, yang lazim oleh masyarakat pada suatu daerah. Secara internasional Masyarakat Adat, telah mendapat pengakuan dan perlindungan melalui Deklarasi Perserikatan Bangsa‐Bangsa Tentang HakHak Masyarakat Adat, yang disahkan pada sidang umum PBB tanggal 13 September 2007 di New York. Kecuali itu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang masih belum juga disahkan DPR-RI.


Belajar dari peristiwa yang menciderai tatanan Adat

Di kabupaten Maluku Tengah - Malteng, sudah tak terbilang jumlah negeri adat yang pemerintahannya bermasaalah akibat campur tangan - kepentingan politik, kekuasaan penguasa di atasnya. Bahkan, sebagian negeri adat kepala pemerintahannya hanya berstatus “Kepala Desa”, bukan Raja Adat, sebab hanya dilantik Bupati di Kantor Kecamatan, ada juga yang dilantik malam hari di ruang tertutup, setelah itu pun tidak ada pengukuhan secara adat di dalam negeri bersangkutan - pelajari tatanan sejarah semua negeri sebagai negeri adat - pengukuhan adat sifatnya wajib. Menurut aturan - UU Desa, tentu sah dalam pada level terbawa struktur pemerintahan negara, tetapi tidak menurut tatanan adat dan aturan yang mengatur sistem pemerintahan negeri berdasarkan adat.

Di kota Ambon - seperti juga di Malteng - kabupaten Seram Bagian Barat - SBB, negeri-negeri adat diambangkan status pemerintahannya melalui penunjukkan Penjabat Sementara - Pjs - memanfaatkan “ruang bermain-main” Undang-Undang Desa, oleh Walikota - dan Bupati. Masa bertugas penjabat yang harusnya bertenggang waktu -hanya 6(enam) bulan, diabaikan, dimelarkan tanpa batas waktu dan berlangsung bertahun-tahun, malah ada yang lebih dari satu orang Pjs pada negeri yang sama. Terdapat negeri adat yang bermasalah tentang Mata Rumah Parentah, kemudian diputuskan Saneri Negeri melalui voting, sesuatu yang tidak pernah ada dan tidak dikenal dalam sejarah adat, tetapi diciptakan dikhasanah politik sesat dunia modern. 

Seperti tersebut di atas, hanya contoh kecil dari peristiwa yang sudah berlangsung lama. Melalui kewenangan otonomi daerah, seperti terkonsep, terstruktur, dan masif, adat negeri diacak-acak, pelaku adat dibenturkan dan Hasilnya efektif. Posisi dan peran adat melemah daya tawarnya di hadapan penguasa otonomi daerah.  kekuasaan politik oligark. Tatanan baku nilai-nilai adat terpinggirkan, diposisikan dalam kendali untuk boleh hanya sebagai “kaki tangan” kekuasaan. Efek sial otonomi daerah, yaitu malah melahirkan “Maha Raja” untuk Raja negeri raja-raja.
Baca juga ;
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial

Dalam struktur adat, kecil kemungkinan untuk diutak-atik, dirubah pakemnya, tetapi bukan berarti ruang berdemokrasi dan peluang tertutup bagi siapapun dalam struktur adat. Struktur adat yang sifatnya baku dan permanen pada sebuah negeri adat, bukan berarti menstratakan kehidupan sosial masyarakatnya dibedakan secara kelas sosial. Maksudnya lebih kepada fungsi sesuai tugas yang diemban dan hal itu berdasarkan kemampuan yang dimiliki - di awal sejarah penetapannya.

Ketidak-mungkinan yang tidak berlaku bagi penguasa otonomi daerah. Melalui upaya kolusi dengan kekuasaan, memberi peluang - sama-sama mendapat keuntungan politik, bagi mereka yang menganggap adat sebagai halangan dan batu sandungan melanggengkan ego sempit dan ambisi terselubung personalnya, terutama yang termarjinalkan dalam struktur adat.  Orang-orang sedemikian yang sering menjadi “penyamun” untuk mengobrak-abrik kekayaan adat yang sesungguhnya sudah baku, sesuai silsilah dan sejarahnya.  Sengaja dibuat kabur dengan “dikangkangi”, agar dapat merebut ruang untuk berkuasa di dalam negerinya.

Mengamati peristiwa yang berlangsung di kabupaten Seram Bagian Barat, seharusnya diformalkan lebih dulu negeri - hena - yama, yang merupakan negeri adat, dipisahkan dengan negeri pemekaran baru. Dalam hal pemekaran suatu negeri, tidak boleh ada “matahari kembar”, sehingga status negeri baru hanya bersifat pemisahan hak kelola administri umum pemerintahan setingkat negeri adat. Negeri baru tidak dapat mengambil alih kuasa hak adat atau hak ulayat negeri induk - kecuali diijinkan atau dilepas oleh negeri induk. Secara adat, negeri baru berstatus negeri biasa dengan sebutan “Kepala” - dapat diganti melalui Pemilihan sesuai diatur UU Desa, tidak sebagaimana “Raja” merupakan sebutan negeri adat dan menjadi hak utuh matarumah parentah dan tidak dipilih sebagaimana negeri baru hasil pemekaran.

Hal menarik mengantisipasi polemik yang bakal muncul dalam hal permasalahan pemerintahan tingkat negeri - Ohoi, langkah strategis mendudukan kebenaran sejarah pemerintahan adat, sekaligus terobosan paling efektif – menurut keyakinan adat, dilakukan oleh Bupati Maluku Tenggara, M. Thaher Hanubun. Bupati menggelar Sumpah Adat Makan Tanah dan Sumpah Kepunahan Tujuh Generasi Keturunan (Daur Viit) bagi Para calon Kepala Ohoi - Negeri, Definitif.  bilamana bukan sebagai garis keturunan yang berhak. Dengan cara ini para “penyamun” yang bukan matarumah parentah dibuat berpikir dan tidak bakal berani merampok yang bukan haknya. Cara demikian beta yakin, tidak bakal berani dilakukan penguasa otonomi daerah - kabupaten dan kota lain, yang syarat dengan praktek politik oligarki.

Peran bisu lembaga adat Majelis Latu-Pati membuat masyarakat buta akan fungsinya, mungkin hanya lembaga pelengkap penderitaan masyarakat adat, selebihnya berubah fungsi menjadi lembaga politik dan sub-ordinan birokrasi kekuasaan, selain hanya sekumpulan “priyai”.  Lembaga Latu-Pati secara personal terdiri dari para raja - kepala pemerintahan, negeri adat, harusnya lebih berperan menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, yang juga demi kepentingan negeri adat yang dipimpinnya.

Sementara Pemerintah Provinsi seperti “mati rasa”, dari Gubernur ke Gubernur berikutnya, mungkin menganggap permasalahan adat bukan hal penting. Masalah pemerintahan adat, samasekali diabaikan - terkesan tidak peduli, dianggap itu urusan Bupati dan Walikota. Hak-hak tradisionil petuanan - hak wilayah(tanah dan hutan) - hak ulayat, Masyarakat (Hukum) Adat, diambangkan statusnya sementara secara masif ijin diterbitkan kepada korporasi kapitalis untuk menggarap dan tentu menghancurkan hutan wilayah hak adat, tanpa manfaat berarti kepada masyarakat adat pemiliki hak. Aksi protes secara damai Masyarakat Adat dihadang Aparat Bersenjata, dan bila diterima hanya untuk didengarkan tuntutannya. Lalu didiamkan dan sepi dari tindakan yang diharapkan - yang dituntut. 

Butuh Dewan Adat

Mempertimbangkan peristiwa dan hal-hal permasaalahan dikemukakan di atas, perlu segera dibentuk lembaga legislatif masyarakat adat, yaitu Dewan Adat. Dewan Adat dibutuhkan untuk mengemban fungsi sebagai aspirator, mediator, dan fasilitator kepentingan Masyarakat Adat, dengan  sesama intern komunitas masyarakat adat, dengan pemerintah, swasta, dan pihak lain, sesuai kuasa dari Masyarakat Adat.

Dewan Adat harus benar-benar kedudukannya independen, steril dari pengaruh kepentingan birokrasi pemerintahan, pemodal swasta, partai politik, agama, dan tidak dijadikan kendaraan politik meraih kekuasaan politik di pemerintahan. Anggota Dewan Adat merupakan pribadi-pribadi yang yang diusulkan, diseleksi - sesuai syarat independensi yang dimaksud di atas, dari usulan anggota jaringan Koalisi Masyarakat Adat, dengan persyaratan yang diatur ketat. Anggota Dewan Adat setelah terpilih dan ditetapkan, dikukuhkan melalui “Sumpah Adat”. Dan keanggotaan harus memperhatikan unsur keterwakilan semua wilayah adat yang seimbang.

Terdapat banyak sekali kesatuan masyarakat - adat, yang sudah terbentuk baik berupa Organisasi Kemasyarakatan - Ormas, Lembaga Sosial Masyarakat - LSM, Institusi Independen, Tokoh-tokoh  Adat di Seram, Makebo, Gorom, Ambon, Banda, Buru, Lease, Key, Aru, Tanimbar, Babar hingga Wetar. Personal-personal Pemerhati Adat dari Akademisi dan Masyarakat umum berlatar Anak Adat, di seluruh Maluku maupun yang berdomisi di luar Maluku. Dari jaringan tersebut bisa diajak berkoalisi, disebutlah “Koalisi Masyarakat Adat”, dan melalui perwakilan yang ditunjuk atau dipilih, kemudian membentuk suatu lembaga formal permanen yang hanya khusus mengurus kepentingan adat, yaitu Dewan Adat. Dewan Adat, walaupun bersifat independen tetapi karena kedudukan, fungsi, dan kewenangannya, maka harus diakomodir untuk mendapat pos anggaran pembiayaan rutin untuk operasional lembaga setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah - APBD.
Baca juga ;

Beta cenderung menokohkan Dr. Abraham H. Tulalessy, Akademisi dan tokoh Pemerhati Adat - paling vokal, lengkap dengan Yayasan Satu Darah yang beliau pimpin, sangat representative sebagai Inisiator sekaligus “motor” penggerak memulai upaya dan merealisasikan pembentukan lembaga Dewan Adat. Secara pribadi, beta berharap pada kapasitas serta keluasan dan keluwesan Dr. Abraham, yang mampu membentuk lembaga Dewan Adat. Beliau cukup banyak mengenal – setidaknya mengetahui, untuk turut dilibatkan, siapa saja tokoh personal maupun dalam lingkup kelembagaan masyarakat adat, serta intitusi-institusi independen yang konsen pada masalah adat, guna dilibatkan mengisi struktur Dewan Adat. Tentu butuh lebih banyak Pemerhati Adat yang lain, dan keterlibatan berbagai komponen serta kepedulian semua anak adat. Bersama bersinergi untuk mengawal dan mendudukan secara terhormat harkat dan martabat adat pada tempatnya.

; 20/02/2020

Sumber ; Berbagai link berita media online, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, Perda Adat Malteng/Ambon/SBB, Deklarasi PBB Tentang HakHak Masyarakat Adat, - dalam Domentasi Penulis.